Rabu, 27 Desember 2017

Dasar-dasar Etika Periklanan – Bagian 3

Ada satu kasus menarik di tahun 2017 ini yang mendorong penulis menulis artikel ini sebagai bagian dari dasar-dasar Etika Periklanan. Seperti disebutkan dalam Kitab Etika Pariwara Indonesia (edisi 2014) bab II.C tentang Asas: "Iklan dan pelaku periklanan harus jujur, benar, dan bertanggung jawab." Artikel ini akan menguraikan lebih dalam mengenai unsur iklan yang bertanggung jawab.

Seluruh pihak yang terkait dalam proses pembuatan suatu iklan haruslah memastikan bahwa isi iklan tersebut dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Seperti telah diuraikan pada artikel Dasar-Dasar Etika Periklanan - Bagian 1, iklan sebagai suatu produk komunikasi yang bersifat persuasif, tidaklah harus mencantumkan "seluruh kebenaran" dalam iklannya. Tetapi, apapun juga yang tercantum dalam iklan tersebut wajib harus dapat dipertanggung jawabkan isinya. 

Pada bulan Agustus 2017, dengan frekuensi yang sangat tinggi dan tersebar di banyak media, Meikarta meluncurkan iklan-iklannya. Dari beberapa versi iklannya, salah satu iklan cetaknya mencantumkan disclaimer (pernyataan penyangkalan) sebagai berikut:



Penulis kutipkan di sini pernyataan penyangkalan tersebut:

Penyangkalan: Sementara setiap pemeriksaan yang saksama telah diterapkan dalam penyusunan iklan ini, pihak pengembang dan biro iklannya tidak bertanggung jawab atas ketidakakuratan apa pun. Semua pernyataan dapat dipercaya kebenarannya namun tidak dipertimbangkan sebagai pernyataan atau penggambaran dari fakta. Penggambaran dan hasil polesan adalah rancangan perupa yang semata-mata ditujukan untuk keperluan peragaan dan tidak dapat dianggap sebagai penggambaran dari fakta. Ini hanya merupakan penawaran tidak dijadikan bagian dari perjanjian atau kesepakatan. 

Penulis telah melakukan konsultasi dengan ahli hukum dan beberapa rekan yang aktif dalam penegakkan etika periklanan untuk dapat lebih memahami kalimat penyangkalan di atas. Kesimpulannya sederhana: pengiklan (dan biro iklannya) secara total melepaskan tanggung jawab mereka terhadap keseluruhan isi iklannya. 

Bayangkan bila semua iklan di Indonesia (untuk produk apapun juga) mencantumkan penyangkalan seperti di atas. Artinya, semua orang boleh membuat iklan dengan pesan apapun juga tanpa harus bertanggung jawab terhadap kebenarannya. Hal ini seperti inilah (bila dibiarkan) yang akan mematikan kepercayaan konsumen terhadap iklan dan otomatis akan membuat industri periklanan di Indonesia mati. 

Pernyataan penyangkalan tidaklah dilarang dicantumkan dalam suatu iklan. Umumnya, tujuan dari pencantuman pernyataan penyangkalan adalah agar membuat konsumen memahami sebagian hal-hal yang bukan menjadi tanggung jawab pengiklan. Misalnya: suatu iklan yang menawarkan investasi dapat mencantumkan penyangkalan bahwa investasi tersebut beresiko dan segala kerugian konsumen akibat investasi tersebut bukan menjadi tanggung jawab pengiklan. Contoh lainnya: iklan suatu produk elektronik dapat mencantumkan penyangkalan bahwa garansi tidak berlaku bila kerusakan pada produk elektronik tersebut disebabkan oleh penggunaan yang tidak sesuai dengan panduannya. Ada pula beberapa iklan yang menampilkan pernyataan "penggambaran/ilustrasi kreatif" dari iklan film mereka dengan tujuan konsumen menyadari bahwa apa yang mereka lihat bukanlah hal yang sebenarnya tetapi inti pesannya (misalnya tentang manfaat produknya) tetap dapat dipertanggungjawabkan. 

Dengan demikian, penyangkalan bukanlah berarti melepaskan seluruh tanggung jawab pengiklan terhadap isi pesan iklannya. Pencantuman pernyataan penyangkalan justru dicantumkan dalam iklan dengan tujuan memberikan batasan tanggung jawab yang lebih jelas dari pengiklan terhadap konsumennya. Pernyataan penyangkalan dalam iklan Meikarta di atas tidak secara spesifik menjelaskan bagian mana yang dikaitkan dengan penyangkalan tersebut sehingga sangat terkesan, penyangkalan tersebut berlaku untuk seluruh isi pesan iklan mereka. Jelas, hal ini sangat tidak etis!

Lebih lanjut, pernyataan penyangkalan seperti di atas, dapat dinilai pula sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada Pasal 17 ayat 1 tercantum: 

Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang­undangan mengenai periklanan.


Pernyataan di atas secara langsung tidak sejalan dengan (paling tidak) ayat 1 butir a, b dan c.

Salam Pariwara ber-Etika!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar