Selasa, 16 Agustus 2016

Seri EPI 2014: Pencantuman Harga

Kali ini penulis akan membahas Etika Pariwara Indonesia Bab III.A. butir 1.4. tentang Pencantuman Harga, yang selengkapnya berbunyi: 
1.4 Pencantum HargaPencantuman harga sesuatu produk dalam iklan, tidak boleh dimaksudkan untuk menyesatkan khalayak.
Pada beberapa iklan, kita sering menjumpai pengiklan mencantumkan harga produknya. Ada beberapa catatan khusus untuk menjabarkan butir di atas:

  1. Pencantuman harga tersebut harus sesuai dengan apa yang harus dibayarkan oleh konsumen saat ia membeli produk tersebut; yaitu produk yang sama dengan produk yang ditayangkan dalam iklan tersebut.
  2. Bila ternyata untuk mendapatkan harga tersebut ada persyaratan khusus, maka persyaratan itu harus tercantum dengan jelas dalam iklan tersebut sehingga tidak menimbulkan kesan "menjebak" konsumen (lihat juga butir 1.25. tentang Syarat dan Ketentuan).
Beberapa kemungkinan terdapat syarat dan ketentuan terkait dengan harga produk; antara lain:

a. Pengiklan mencantumkan harga khusus untuk suatu periode tertentu: maka periode tersebut harus tercantum dengan jelas pada iklannya
b. Pengiklan mencantumkan harga khusus yang hanya berlaku pada tempat-tempat penjualan tertentu: maka rincian tempat-tempat tersebut harus tercantum dengan jelas pada iklannya
c. Pengiklan mencantumkan harga khusus untuk suatu produk dalam jumlah terbatas (misalnya: hanya untuk 100 pembeli pertama): maka harus dijelaskan dalam iklan tersebut keterbatasan produk tersebut. Tidak disarankan untuk mencantumkan "selama persediaan masih ada" atau kalimat lain yang senada. Lebih baik secara langsung jelaskan dengan perincian batasan tersebut. 

Penulis pernah mendapatkan kasus di mana pengiklan ingin memberikan harga khusus atas produknya, tapi jumlah penjualannya dibatasi dan pembatasan jumlah ini berbeda-beda antara satu tempat penjualan dengan tempat lainnya. Untuk masalah yang cukup kompleks ini, penulis menyarankan sebagai berikut:

i. Bila jumlah tempat penjualan tidak banyak, bisa dicantumkan rincian pembatasan tersebut pada iklannya.
ii. Berikan nomor telepon layanan pelanggan yang bisa menjawab pertanyaan konsumen berapa batasan jumlah produk tersebut di masing-masing lokasi penjualan
iii. Bila pengiklan memiliki situs web, maka rincian tersebut dapat dicantumkan dalam situs web tersebut dan dalam iklannya cukup disebutkan "kunjungi situs web kami untuk rincian pembatasan penjualan produk di masing-masing tempat penjualan".

Umumnya, pengiklan ingin mencantumkan harga agar menarik perhatian konsumen dan membuat konsumen lebih yakin untuk membeli produk tersebut. Seringkali terjadi, konsumen datang ke tempat penjualan dan mengalami kekecewaan karena ternyata harga tersebut dibatasi (entah jumlahnya, entah periodenya, atau keduanya). 

Ada pengiklan yang berpendapat bahwa tidak apa-apa konsumen kecewa pada saat itu karena kekecewaan tersebut dapat meningkatkan keingingan konsumen untuk berbelanja produk mereka di saat yang lain (unsur/rasa "penasaran"). Pendapat ini penuh resiko. Pengiklan sedang "berjudi" di sini. Bila tidak ada produk pesaing yang melakukan strategi penjualan dengan harga khusus, maka perjudian tersebut bisa saja berhasil. Tapi, bila konsumen harus memilih antara 2 produk sejenis dimana satu produk pernah mengecewakan dia (karena konsumen tidak berhasil mendapatkan harga khusus), sedangkan yang lain dengan jelas mencantumkan rincian batasan untuk mendapatkan harga tersebut, penulis yakin konsumen akan lebih suka mencoba membeli produk dengan informasi di iklan yang lebih jelas.  

Salah satu produk yang sering mencantumkan harga dengan pesan yang cukup provokatif adalah produk perumahan (property); dengan klaim misalnya: "Dapatkan segera dengan harga Rp X! Minggu depan harga naik!" Kecurigaan penulis, harga tersebut "belum tentu" dinaikkan bila jumlah penjualannya belum mencapai sasaran. Atau, bisa saja harga tersebut benar naik tapi lalu dimunculkan sistem potongan harga. Hal-hal seperti ini sangat beresiko, karena bila konsumen mengetahui hal ini, maka kampanye seperti di atas makin lama akan makin tidak dipercaya oleh konsumen. 

Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!


[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]



Jumat, 12 Agustus 2016

Seri EPI 2014: Bahasa (Bagian 3 - terakhir)

Pada bagian ke tiga ini, penulis akan membahas Etika Pariwara Indonesia butir 1.2.3. ayat d), e) dan f) yang isinya sebagai berikut: 
1.2 Bahasa
         1.2.3  Penggunaan kata-kata tertentu harus memenuhi ketentuan berikut:
  1. d.    Kata-kata ”presiden”, ”raja”, ”ratu”, dan sejenisnya tidak boleh digunakan dalam kaitan atau konotasi yang negatif.

  2. e.    Penggunaan kata ”satu-satunya”, ”hanya”, ”cuma”, atau yang bemakna sama tidak boleh digunakan, kecuali jika secara khas disertai dengan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan, dalam hal apa produk tersebut menjadi satu-satunya. (lihat penjelasan)

  3. f.    Kata “gratis”, “cuma-cuma”, atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, jika ternyata ada biaya lain yang harus dibayar konsumen. (lihat penjelasan) 

Maksud dari butir 1.2.3.d. dapat mudah dipahami dengan beberapa contoh berikut: penggunaaan kata-kata seperti "raja copet", "ratu ekstasi", "presiden koruptor", dan sejenisnya tidaklah pantas digunakan dalam suatu iklan (walaupun tujuannya untuk menjelaskan suatu hal yang negatif sekalipun). 

Terkait dengan butir 1.2.3.e., beberapa contoh yang pernah penulis temukan; antara lain:
1. Hanya Zinc ahlinya masalah ketombe
2. Appeton: Satu-satunya produk yang terbukti klinis menambah berat secara sehat
3. Yamaha: Cuma kita yang semakin di depan
4. Tissue yang bisa diandalkan cuma Passeo
5. Cuma Avanza yang bisa
6. Kecap Sedaaap: Satu-satunya rahasia masakan sedap
7. Cuma BuKrim yang bisa begini
8. ..... tapi kalo batuk cuma Woods spesialisnya
9. Terbukti cuma XL yang gak bikin kecewa

Dalam bagian penjelasan untuk butir ini, tercantum: "Kata-kata “satu satunya”, “hanya” atau yang bermakna sama harus bisa dijelaskan dan dibuktikan secara lisan dan tertulis. Penjelasan tersebut harus bisa diakses secara mudah oleh khalayak. Klaim diatas juga harus jelas dalam kategori tertentu, serta konteks ruang dan waktu tertentu."

Jadi, penggunaan kata-kata tersebut diperbolehkan selama didukung oleh fakta-fakta/bukti-bukti pendukung yang dengan jelas disampaikan (secara tertulis atau lisan) di dalam iklan tersebut. Kata-kata tersebut tidak boleh digunakan untuk memberikan kesan kehebatan atas suatu produk tapi sebenarnya tidak memiliki bukti-bukti pendukung obyektif atas kebenaran pernyataan tersebut. Seperti penulis sering ungkapkan, suatu iklan bukanlah bertujuan membuat suatu produk (maaf) "tahi kambing" dipersepsikan oleh konsumen menjadi "coklat Swiss". 

Terkait dengan butir 1.2.3.f., penulis menilai bahwa tidaklah mudah untuk "menangkap" ketidaketisan suatu iklan yang menggunakan kata "gratis", "cuma-cuma" atau kata lain yang bermakna sama dari sekedar melihat iklannya saja. Konsumenlah yang harus jeli bila mendapatkan penawaran/promosi "gratis" seperti ini. Tanyakan dengan terinci, apakah ada "biaya-biaya" lain (bisa bersifat finansial, bisa juga tidak) yang harus ia tanggung; misalnya: harus menambah biaya (contoh: ongkos kirim) atau usaha tertentu (contoh: mengambil produk hadiah gratis tersebut sendiri).

Sekitar tahun 2013-2014, sangat gencar promosi "ketik REG XXXX, dapatkan gratis X". Yang paling populer adalah mendapatkan nada dering (ring-tone) gratis. Bila seseorang mendaftar, maka otomatis si pendaftar akan mendapatkan SMS (misalnya 2 kali dalam sehari) di mana atas penerimaan SMS tersebut si pendaftar akan dikenakan biaya tertentu yang cukup tinggi nilainya (misalnya Rp 2.000,- per SMS sehingga dalam sebulan bisa si pendaftar harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 120.000,-!). SMS itu umumnya berisi informasi tentang artis (kegiatan dia, biografi dan sebagainya). 

Cara berpromosi seperti ini sangatlah tidak etis. Konsumen ditawari nada-dering gratis tapi lalu dikenakan biaya atas SMS yang isi pesannya kemungkinan besar tidak dibutuhkannya. Ini seperti promosi: dapatkan handphone gratis, tapi bayar sarungnya! Sangat tidak masuk di akal bahwa produk utamanya (nada-dering) digratiskan, produk tambahannya (SMS) malah dikenakan biaya. 

Pesan penulis bagi praktisi periklanan yang ingin menggunakan kata-kata seperti ini: janganlah sekedar menawarkan sesuatu secara "gratis" tapi pada akhirnya membuat konsumen kecewa karena ternyata ada "biaya-biaya tersembunyi" dibaliknya. Bila ada persyaratan untuk mendapatkan produk "gratis" tersebut, sebutkanlah dengan jelas pada iklan tersebut. Adalah suatu yang tindakan mubazir bila membuat iklan yang akhirnya malah membuat konsumen kecewa terhadap produk tersebut. 

Tidaklah etis pula bila suatu produk memberikan hadiah gratis tapi dengan cara menaikan harga produknya terlebih dahulu. 

Sebagai penutup dari bahasan mengenai Bahasa dalam iklan, penulis ingin mengingatkan bahwa cukup banyak penggunaan kata-kata bersifat superlatif, "hanya", "cuma", "100%", "raja/ratu" dan sejenisnya yang dengan sangat mudah dipersepsikan oleh konsumen di Indonesia sebagai suatu yang bersifat sombong. Padahal, budaya Indonesia sangat tidak menghargai nilai kesombongan. Berhati-hatilah dengan penggunaan kata-kata dalam iklan, karena kata-kata itu dapat mempunyai pemahaman yang berbeda-beda di dalam benak konsumen.

Terinspirasi dari buku "Komunikasi Cinta" karangan Djito Kasilo, komunikasi iklan adalah komunikasi cinta; cinta terhadap produk, cinta terhadap konsumen, termasuk cinta kepada pesaing! 

Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!

> Bagian 1
> Bagian 2


[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]


Seri EPI 2014: Bahasa (Bagian 3 - terakhir)

Pada bagian ke tiga ini, penulis akan membahas Etika Pariwara Indonesia butir 1.2.3. ayat d), e) dan f) yang isinya sebagai berikut: 
1.2 Bahasa
         1.2.3  Penggunaan kata-kata tertentu harus memenuhi ketentuan berikut:
  1. d.    Kata-kata ”presiden”, ”raja”, ”ratu”, dan sejenisnya tidak boleh digunakan dalam kaitan atau konotasi yang negatif.

  2. e.    Penggunaan kata ”satu-satunya”, ”hanya”, ”cuma”, atau yang bemakna sama tidak boleh digunakan, kecuali jika secara khas disertai dengan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan, dalam hal apa produk tersebut menjadi satu-satunya. (lihat penjelasan)

  3. f.    Kata “gratis”, “cuma-cuma”, atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, jika ternyata ada biaya lain yang harus dibayar konsumen. (lihat penjelasan) 

Maksud dari butir 1.2.3.d. dapat mudah dipahami dengan beberapa contoh berikut: penggunaaan kata-kata seperti "raja copet", "ratu ekstasi", "presiden koruptor", dan sejenisnya tidaklah pantas digunakan dalam suatu iklan (walaupun tujuannya untuk menjelaskan suatu hal yang negatif sekalipun). 

Terkait dengan butir 1.2.3.e., beberapa contoh yang pernah penulis temukan; antara lain:
1. Hanya Zinc ahlinya masalah ketombe
2. Appeton: Satu-satunya produk yang terbukti klinis menambah berat secara sehat
3. Yamaha: Cuma kita yang semakin di depan
4. Tissue yang bisa diandalkan cuma Passeo
5. Cuma Avanza yang bisa
6. Kecap Sedaaap: Satu-satunya rahasia masakan sedap
7. Cuma BuKrim yang bisa begini
8. ..... tapi kalo batuk cuma Woods spesialisnya
9. Terbukti cuma XL yang gak bikin kecewa

Dalam bagian penjelasan untuk butir ini, tercantum: "Kata-kata “satu satunya”, “hanya” atau yang bermakna sama harus bisa dijelaskan dan dibuktikan secara lisan dan tertulis. Penjelasan tersebut harus bisa diakses secara mudah oleh khalayak. Klaim diatas juga harus jelas dalam kategori tertentu, serta konteks ruang dan waktu tertentu."

Jadi, penggunaan kata-kata tersebut diperbolehkan selama didukung oleh fakta-fakta/bukti-bukti pendukung yang dengan jelas disampaikan (secara tertulis atau lisan) di dalam iklan tersebut. Kata-kata tersebut tidak boleh digunakan untuk memberikan kesan kehebatan atas suatu produk tapi sebenarnya tidak memiliki bukti-bukti pendukung obyektif atas kebenaran pernyataan tersebut. Seperti penulis sering ungkapkan, suatu iklan bukanlah bertujuan membuat suatu produk (maaf) "tahi kambing" dipersepsikan oleh konsumen menjadi "coklat Swiss". 

Terkait dengan butir 1.2.3.f., penulis menilai bahwa tidaklah mudah untuk "menangkap" ketidaketisan suatu iklan yang menggunakan kata "gratis", "cuma-cuma" atau kata lain yang bermakna sama dari sekedar melihat iklannya saja. Konsumenlah yang harus jeli bila mendapatkan penawaran/promosi "gratis" seperti ini. Tanyakan dengan terinci, apakah ada "biaya-biaya" lain (bisa bersifat finansial, bisa juga tidak) yang harus ia tanggung; misalnya: harus menambah biaya (contoh: ongkos kirim) atau usaha tertentu (contoh: mengambil produk hadiah gratis tersebut sendiri).

Sekitar tahun 2013-2014, sangat gencar promosi "ketik REG XXXX, dapatkan gratis X". Yang paling populer adalah mendapatkan nada dering (ring-tone) gratis. Bila seseorang mendaftar, maka otomatis si pendaftar akan mendapatkan SMS (misalnya 2 kali dalam sehari) di mana atas penerimaan SMS tersebut si pendaftar akan dikenakan biaya tertentu yang cukup tinggi nilainya (misalnya Rp 2.000,- per SMS sehingga dalam sebulan bisa si pendaftar harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 120.000,-!). SMS itu umumnya berisi informasi tentang artis (kegiatan dia, biografi dan sebagainya). 

Cara berpromosi seperti ini sangatlah tidak etis. Konsumen ditawari nada-dering gratis tapi lalu dikenakan biaya atas SMS yang kemungkinan besar tidak dibutuhkannya. Ini seperti promosi: dapatkan handphone gratis, tapi bayar sarungnya! Sangat tidak masuk di akal bahwa produk utamanya (nada-dering) digratiskan, produk tambahannya (SMS) malah dikenakan biaya. 

Pesan penulis bagi praktisi periklanan yang ingin menggunakan kata-kata seperti ini: janganlah sekedar menawarkan sesuatu secara "gratis" tapi pada akhirnya membuat konsumen kecewa karena ternyata ada "biaya-biaya tersembunyi" dibaliknya. Bila ada persyaratan untuk mendapatkan produk "gratis" tersebut, sebutkanlah dengan jelas pada iklan tersebut. Adalah suatu yang tindakan mubazir bila membuat iklan yang akhirnya malah membuat konsumen kecewa terhadap produk tersebut. 

Tidaklah etis pula bila suatu produk memberikan hadiah gratis tapi dengan cara menaikan harga produknya terlebih dahulu. 

Sebagai penutup dari bahasan mengenai Bahasa dalam iklan, penulis ingin mengingatkan bahwa cukup banyak penggunaan kata-kata bersifat superlatif, "hanya", "cuma", "100%", "raja/ratu" dan sejenisnya yang dengan sangat mudah dipersepsikan oleh konsumen di Indonesia sebagai suatu yang bersifat sombong. Padahal, budaya Indonesia sangat tidak menghargai nilai kesombongan. Berhati-hatilah dengan penggunaan kata-kata dalam iklan, karena kata-kata itu dapat mempunyai pemahaman yang berbeda-beda di dalam benak konsumen.

Terinspirasi dari buku "Komunikasi Cinta" karangan Djito Kasilo, komunikasi iklan adalah komunikasi cinta; cinta terhadap produk, cinta terhadap konsumen, termasuk cinta kepada pesaing! 

Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!

> Bagian 1
> Bagian 2


[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]


Seri EPI 2014: Bahasa (Bagian 2)

Dalam bagian ke dua ini, penulis akan mencoba menjabarkan Etika Pariwara Indonesia Bab III.A. butir 1.2.3 bagian a), b) dan c) yang selengkapnya berbunyi:
1.2.3  Penggunaan kata-kata tertentu harus memenuhi ketentuan berikut:
  1. Penggunaan kata ”100%”, ”murni”, ”asli” atau yang bermakna sama untuk menyatakan sesuatu kandungan, kadar, bobot, tingkat mutu, dan sebagainya, kecuali jika disertai dengan bukti yang dapat dipertanggunjawabkan. (lihat penjelasan)
  2. Kata halal pada sesuatu produk hanya dapat disiarkan sesudah produk tersebut memperoleh sertifikat halal resmi dari lembaga yang berwenang.
  3. Kata ”halal” tidak boleh dieksploitasi. (lihat definisi dan penjelasan)
Terkait dengan butir 1.2.3.a., bagi praktisi periklanan, penulis menganjurkan untuk selalu bersikap kritis dan melihat dulu dari mana klaim "100%", "murni", "asli" atau yang bermakna tersebut berasal. 

1. Bila klaim tersebut sudah ada di kemasan produk (misalnya suatu produk pangan dalam kemasannya mencantumkan klaim "madu asli"), maka cukup dapat dijadikan pegangan bahwa klaim tersebut juga dapat digunakan dalam iklannya. Asumsinya adalah bahwa sudah ada aturan pemerintah yang cukup ketat untuk pencantuman klaim-klaim seperti di atas; khususnya untuk produk-produk pangan dan obat-obatan. 

Contoh: 
a. pemerintah pasti tidak akan memberikan ijin penggunaan klaim "sari buah asli" dalam kemasan suatu produk minuman yang sebenarnya di dalam kemasan itu berisi bahan-bahan tambahan lain (misalnya: air, pengawet, vitamin tambahan dan sebagainya). 
b. pemerintah pasti tidak akan memberikan ijin penggunaan klaim "asli Papua" dalam kemasan suatu produk pangan bila sebenarnya bahan dasar dari produk itu bukan di dapat dari Papua (walaupun mungkin aslinya bahan itu berasal dari Papua, tapi bahan yang digunakan oleh produk tersebut adalah bahan yang dikembangkan di daerah lain).

2. Bila klaim tersebut diminta oleh produsen/pengiklan untuk dicantumkan dalam iklannya tapi tidak tercantum dalam kemasan produknya, maka praktisi periklanan sebaiknya berhati-hati dan meminta dokumen-dokumen penunjang atas klaim tersebut (hasil penelitian, surat dukungan dari lembaga pemerintah dan sebagainya) sebelum menyetujui untuk menggunakan klaim tersebut. 

Contoh:
a. Klaim "100% komponen dalam negeri" perlu didukung oleh fakta bahwa dalam produk tersebut tidak ada komponen yang produksinya bukan dari dalam negeri
b. Klaim "100% membunuh kuman" perlu didukung oleh hasil penelitian yang obyektif. Berdasarkan pengalaman penulis, untuk iklan produk pangan dan produk yang terkait dengan kesehatan (obat-obatan, perawatan tubuh, perawatan rumah-tangga, dan sebagainya), sangat tidak dianjurkan untuk menggunakan klaim "100% membunuh kuman"; karena secara logika sederhana, kuman adalah mikro-organisme di mana kemampuan manusia bisa melihat kuman (yang bisa dikatakan "tak terhingga jumlahnya") akan sangat terbatas tergantung pada teknologi yang tersedia. Akan lebih "aman" menuliskan "100% membunuh kuman X" dengan asumsi memang ada penelitian ilmiah yang mendukung bahwa kuman X terbunuh habis oleh produk tersebut. 
c. Pernah ada kasus suatu bank menggunakan klaim "Investasi 100% aman". Hal ini juga sangat tidak disarankan. Iklan atas suatu produk yang pada dasarnya mengandung resiko (seperti investasi, asuransi, dan sebagainya), tidaklah mungkin 100% aman. 

Penulis menyadari bahwa tidak akan mudah membahas butir 1.2.3.b. dan 1.2.3.c. karena masalah "halal" ini menyangkut suatu terminologi yang sangat erat kaitannya dengan agama Islam; apalagi penulis bukan beragama Islam. Dalam bahasan ini, penulis ingin menekankan bahwa penjelasan yang penulis sampaikan bukanlah suatu analisa keagamaan, tapi sebatas pemahaman konteks penggunaan kata "halal" dalam suatu karya iklan.

Dalam bagian definisi mengenai kata "halal" dalam kitab EPI, ditekankan bahwa definisi/batasan mengenai "halal" tersebut mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Pasal 1 ayat 5. Sebagai referensi tambahan (yang saat EPI versi 2014 diterbitkan, dokumen ini belum tercatat), pada bulan Oktober 2014 telah diterbitkan Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

Dengan penekanan tersebut, penulis ingin menyatakan bahwa pemahaman atas "halal" di sini bisa tidak sama persis dengan pemahaman "halal" dalam konteks agama Islam. Penulis beranggapan bahwa pengertian "halal" dalam konteks aturan hukum tersebut lebih kecil lingkupnya daripada pengertian "halal" dalam konteks agama. Uraian selanjutnya semoga dapat memperjelas perbedaan tersebut. 

Satu hal yang pasti, klaim "halal" hanya dapat dilakukan oleh produk yang memang sudah mendapatkan sertifikat "halal" dari lembaga yang diakui oleh pemerintah untuk mengeluarkan sertifikat tersebut (sepengetahuan penulis: Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia/LPPOM-MUI sedangkan pada UU No. 33/2014 diamanatkan terbentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal/BPJPH). 

Yang lebih sukar dijelaskan adalah butir 1.2.3.c. Apakah yang dimaksud dengan "eksploitasi" pernyataan "halal"? Dalam bagian penjelasan, kitab EPI menjelaskannya sebagai berikut: Eksploitasi kata halal adalah penggunaan label halal atau kata halal sebagai pesan utama yang dikampanyekan dengan tujuan untuk merayu, membujuk atau mempengaruhi proses pembelian. Kata halal hanya boleh dicantumkan sebagai informasi atau fakta.

Beberapa contoh berikut dapat membantu menjelaskan hal tersebut:

1. "Sudah halalkah produk susu yang anda gunakan?"
2. "Pelopor produk es krim halal di Indonesia"
3. "Pastikan produk camilan anak anda halal!"
4. "Pakai produk kami yang halal agar disayang Allah"
dan sejenisnya

Dalam tulisan sebelumnya terkait dengan tema "Agama" dalam periklanan, jelas disebutkan bahwa tidaklah etis mengiklankan/mempromosikan suatu agama. Panduan 1.2.3.b. dan 1.2.3.c. terkait dengan hal tersebut juga. Contoh-contoh di atas dengan mudah disalah-artikan oleh konsumen (khususnya yang beragama Islam). 

Dalam UU No. 33/2014, pasal 1 ayat 3, disebutkan bahwa: "Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin
kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk."  Dengan demikian, menurut pendapat penulis, "serfikat halal" tersebut tidak menjangkau, misalnya kasus-kasus sebagai berikut:

1. Apakah modal usaha dari perusahaan sebagai produsen produk tersebut diperoleh dari hasil korupsi atau perilaku yang diharamkan lainnya?
2. Apakah konsumen mendapatkan produk tersebut dengan cara yang "halal"? Contoh ekstrim: Seseorang yang mencuri mie instant berlogo halal dari suatu toko lalu memakannya seharusnya tidak bisa mengatakan bahwa ia telah menyantap "hidangan halal". 
3. Apakah produk tersebut dipromosikan/diiklankan dengan cara-cara yang beretika dan/atau sesuai hukum yang berlaku? Bila suatu produk bersertifikat halal dipromosikan dengan cara-cara yang tidak etis dan/atau sesuai dengan hukum yang berlaku, maka dapat dipertanyakan nilai ke-"halal"an dari produk tersebut. Contoh: produk bersertifkat halal yang menjelek-jelekan dan menjatuhkan produk lain yang tidak bersertifikat halal dapat dinilai sebagai tidak etis. 

Singkatnya, proses sertifikasi "halal" dari pemerintah tersebut tidak akan mungkin menjangkau seluruh aspek ke-"halal"-an suatu produk. Dalam pengertian inilah, maka dalam EPI disarankan tidak mengekploitasi pernyataan "halal". Dalam iklan, cukup sebutkan bahwa produk tersebut "sudah bersertifikat halal" tanpa harus dielaborasi lebih jauh.

Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!

[bersambung ke Bagian 3]


[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]

Seri EPI 2014: Bahasa (Bagian 1)

Pada tulisan ini, penulis akan membahas salah satu butir panduan dalam kitab Etika Pariwara Indonesia yang sangat sering dilanggar oleh para praktisi periklanan; yaitu unsur Bahasa dalam iklan. Bab III.A. Butir 1.2 dalam kitab EPI memberikan cukup banyak pedoman terkait bahasa dalam iklan sehingga bahasannya akan disampaikan dalam beberapa bagian. Kutipan selengkapnya dari butir 1.2. adalah sebagai berikut:
1.2 Bahasa
  1. 1.2.1  Iklan harus disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak sasarannya.
  2. 1.2.2  Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“, dan/atau yang bermakna sama, kecuali jika disertai dengan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. (lihat penjelasan)
  3. 1.2.3  Penggunaan kata-kata tertentu harus memenuhi ketentuan berikut:
    1. Penggunaan kata ”100%”, ”murni”, ”asli” atau yang bermakna sama untuk menyatakan sesuatu kandungan, kadar, bobot, tingkat mutu, dan sebagainya, kecuali jika disertai dengan bukti yang dapat dipertanggunjawabkan. (lihat penjelasan)
    2. Kata halal pada sesuatu produk hanya dapat disiarkan sesudah produk tersebut memperoleh sertifikat halal resmi dari lembaga yang berwenang.
    3. Kata ”halal” tidak boleh dieksploitasi. (lihat definisi dan penjelasan)
    4. Kata-kata ”presiden”, ”raja”, ”ratu”, dan sejenisnya tidak boleh digunakan dalam kaitan atau konotasi yang negatif.
    5. Penggunaan kata ”satu-satunya”, ”hanya”, ”cuma”, atau yang bemakna sama tidak boleh digunakan, kecuali jika secara khas disertai dengan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan, dalam hal apa produk tersebut menjadi satu-satunya. (lihat penjelasan)
    6. Kata “gratis”, “cuma-cuma”, atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, jika ternyata ada biaya lain yang harus dibayar konsumen. (lihat penjelasan) 


Butir 1.2.1. penulis rasa cukup mudah dipahami. Perlu dicatat bahwa kitab Etika Pariwara Indonesia tidak menetapkan bahwa semua iklan harus berbahasa Indonesia. Iklan boleh saja menggunakan bahasa daerah ataupun bahasa asing, selama bahasa tersebut dapat dipahami khalayak sasarannya. 

Butir 1.2.2. adalah panduan yang paling sering dilanggar oleh para praktisi periklanan. Laporan Badan Pengawas Periklanan P3I dari tahun ke tahun menunjukkan sekitar 1/3 pelanggaran etika periklanan ada pada butir ini saja. Sangat disayangkan bahwa para praktisi periklanan masih menganggap penggunaan kata superlatif adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mendapatkan perhatian pemirsa (dari sudut lain artinya masih ada anggapan bahwa masyarakat di Indonesia sangat mudah "dirayu" dengan pernyataan superlatif ini). 

Isi dari butir ini dalam sudut pandang yang lain dapat dituliskan dengan "Iklan  boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“, dan/atau yang bermakna sama, bila disertai dengan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan". Tapi yang sering terjadi, penggunaan kata superlatif tersebut tidak disertai dengan bukti-bukti tersebut. Dalam penjelasannya, bukti-bukti tersebut adalah "penjelasan sah berupa survei atau riset dari lembaga independen kredibel yang menjelaskan tentang pencapaian sebuah produk."

Penulis berpendapat bahwa dalam beberapa kasus khusus, boleh saja suatu pernyataan superlatif tidak didukung oleh data survei/riset yang independen SELAMA: 

1. Pernyataan superlatif tersebut digunakan untuk menampilkan perbandingan dengan produk dari pengiklan itu sendiri yang disampaikan sedemikian rupa sehingga mudah dimengerti oleh pemirsa. Contoh:

  • Jenis shampoo terbaru dari rangkaian produk shampoo A
  • Cluster terbaru dari ABC Real-Estate
  • Produk tabungan dari Bank XYZ dengan bunga tertinggi dibandingkan produk tabungan Bank XYZ lainnya
  • Pasar Swalayan X di kota ABC yang terluas dari jaringan Pasar Swalayan X
2. Penggunaan pernyataan superlatif atas sesuatu hal dengan asumsi yang kuat bahwa mayoritas masyarakat luas (khususnya yang menjadi sasaran utama dari iklan tersebut) telah mengetahui sebelumnya bahwa hal tersebut memang benar. Contoh:

  • Penyedia jasa telekomunikasi seluer T adalah penyedia jasa telekomukasi seluler dengan jumlah pelanggan terbanyak
  • Bank B dengan jumlah kantor cabang terbanyak di Indonesia
  • BUMN P adalah pemasok bahan bakar terbesar di Indonesia
Contoh di mana penggunaan pernyataan superlatif tidak tepat dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya adalah:

Slogan MatahariMall.com
Pernyataan "#1 eCommerce" adalah suatu pernyataan yang bersifat superlatif (tanda "#" dibaca sebagai "Nomor"). Slogan tersebut digunakan oleh MatahariMall.com sejak awal mereka meluncurkan situs belanja tersebut di bulan September 2015 dan sampai dengan saat ini penulis tidak dapat memahami dalam konteks apakah mereka "#1"? Apakah jumlah produk yang dijual di situs tersebut? Apakah jumlah pengunjung situsnya? Ataukah mereka adalah situs pertama yang menyediakan layanan belanja on-line? Atau ada alasan yang lain?

Suatu produk yang berani beriklan dengan menyebutkan dirinya "Nomor 1" seharusnya secara obyektif harus mampu menyebutkan juga, siapa "nomor 2" dan seterusnya. Contoh klasik adalah iklan/promosi kecap di masa lalu yang semuanya menggunakan klaim "Kecap No. 1" sehingga akibatnya konsumen menjadi bingung dan tidak mendapatkan informasi yang benar tentang kualitas dari produk kecap itu sendiri. Akibatnya kemudian konsumen tidak percaya lagi terhadap klaim "Kecap No. 1" tersebut. Muncul ungkapan "ngecap" sebagai analogi "asal bicara/bohong".

Solusinya sebenarnya sederhana bila ingin tetap menggunakan pernyataan superlatif. Carilah lembaga penelitian independen yang dapat mendukung pernyataan tersebut, mintalah ijin kepada lembaga penelitian tersebut untuk menggunakan data mereka untuk mendukung klaim tersebut, dan cantumkan hasil penelitian tersebut dalam iklan tersebut (lihat juga EPI Bab III.A. butir 4.15. tentang Penggunaan Data Riset).


Penggunaan data hasil penelitian yang obyektif menjadi semakin penting bila pernyataan superlatif yang digunakan terkait dengan masalah kualitas (bukan sesuatu yang sifatnya kuantitatif); misalnya: paling modern, paling enak, paling aman, dan sejenisnya.


Suatu pernyataan superlatif pastilah mengandung unsur perbandingan. Permasalahan bisa muncul bila perbandingan tersebut bersifat eksternal (artinya diarahkan kepada produk pesaing). Perbandingan yang tidak benar, tidak tepat, dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan berpotensi bertentangan dengan EPI Bab III.A. butir 1.18 tentang Perbandingan (akan dibahas dalam tulisan lain). 

Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!

[bersambung ke Bagian 2]


[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]

Kamis, 04 Agustus 2016

Seri EPI 2014: Agama


Dalam beberapa seri tulisan, penulis akan menguraikan beberapa butir pedoman etika periklanan yang mengacu pada pada Kitab EPI versi 2014 (bisa diunduh di sini).   
 
Salah satu panduan dalam kitab EPI yang mengalami perubahan/perbaikan adalah panduan konten iklan terkait agama. Ada 2 panduan terkait agama dalam periklanan. Selengkapnya dalam kitab EPI 2014 tercantum sebagai berikut:

1.29. Agama
1.29.1  Iklan tidak boleh merendahkan nilai-nilai agama
1.29.2  Penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam iklan tidak boleh dieksploitasi, agar tidak menimbulkan perbedaan persepsi pada para penganut agama tersebut.
2.27. Agama
2.27.1.  Agama dan kepercayaan tidak boleh diiklankan dalam bentuk apapun.
2.27.2.  Kegiatan atau ritual keagamaan boleh diiklankan selama sebatas memberikan informasi tentang agama, tema, tempat, waktu, pembicara, dan sebagainya.
2.27.3.  Penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam iklan tidak boleh dieksploitasi, agar tidak menimbulkan perbedaan persepsi pada para penganut agama tersebut.
Perbedaan antara ke dua butir panduan tersebut sebenarnya sederhana. Butir 1.29. lebih melihat dari sisi "Isi Iklan" sedangkan butir 2.27 lebih melihat dari sisi "Ragam Iklan". Cakupan butir 1.29 lebih luas karena mencakup segala iklan dari berbagai produk yang menggunakan pendekatan "keagamaan". Sedangkan butir 2.27. dikhususkan hanya untuk "iklan tentang agama".

Butir 1.29.1. penulis rasa sudah cukup jelas. Sedangkan untuk butir 1.29.2. dapat diuraikan sedikit sebagai berikut: suatu produk yang beriklan dengan menggunakan latar-belakang (misalnya) tempat ibadah, haruslah memperhatikan tata-krama yang berlaku di rumah ibadah tersebut karena rumah ibadah adalah salah satu simbol keagamaan. 
 
Butir 2.27.1. penulis rasa cukup jelas. Tidaklah etis untuk mengiklankan suatu agama dengan tujuan mengunggulkan agama tersebut (karena iklan selalu bersifat persuasif) atau membuat orang yang beragama lain berpindah agama. Pengecualian tentang hal ini hanya bila iklan tersebut merupakan "pengumuman" dari suatu kegiatan/ritual keagamaan (2.27.2.). Misalnya: ajakan untuk menghadiri doa bersama, menghadiri perayaan hari besar suatu agama, dan sejenisnya. Tetap harus diingat di sini bahwa dalam iklan yang bersifat "pengumuman" tersebut, tetap tidak diperkenankan mengandung pesan yang mengiklankan agama itu sendiri.

Butir 2.27.3. dapat penulis jelaskan dengan contoh kasus berikut: beberapa waktu yang lalu muncul iklan "terselubung" (biasanya dalam bentuk iklan built-in/tersisip) pada suatu rubrik/program/tayangan yang terkait dengan suatu kegiatan agama tertentu. Contoh yang bisa penulis berikan adalah (maaf, materi rekamannya tidak tersedia): dalam bulan Ramadhan di beberapa waktu yang lalu, setiap stasiun TV umumnya menayangkan tayangan khusus pada saat menjelang beduk berbuka puasa. Tayangan tersebut biasanya berupa doa (adzan Magrib) yang diakhiri dengan visual dan audio beduk berbuka puasa. Sangat disayangkan bahwa pada tayangan tersebut, beberapa stasiun TV menggunakannya sebagai sarana untuk menayangkan iklan komersial secara built-in/tersisip.

Menurut pendapat beberapa rekan penulis, cara seperti itu tidaklah etis. Suatu doa tidaklah pantas disisipi dengan suatu iklan atau menjadi media periklanan. Bayangkan hal seperti ini terjadi: bila di gereja atau masjid doa sedang berjalan lalu di tempat ibadah itu ada proyektor yang menayangkan iklan suatu produk (walaupun iklan tersebut tidak ada suaranya, hanya visual), apakah hal tersebut dapat diterima oleh para umatnya? Boleh saja dalam suatu doa diiringi dengan tayangan visual dan audio yang makin membuat khusuk doa para umat, tapi pastinya bukan berupa iklan; sebagus apapun iklan tersebut.

Dalam pengertian yang lebih luas: simbol-simbol keagamaan antara lain dapat berbentuk lambang keagamaan (seperti bulan-sabit untuk agama Islam, salib untuk agama Kristen/Katholik, swastika untuk agama Hindu dsb.), tokoh-tokoh penting dalam suatu agama (Nabi Muhammad SAW, Yesus, Budha, dsb.), tempat ibadah (masjid, gereja, vihara, pura, kelenteng, dsb.), kegiatan peribadatan umat beragama (sholat, misa, Galungan, ibadah perkawinan, dsb.), kitab suci agama (Al-Qur'an, Injil, Tripitaka, dsb.) termasuk ayat-ayat kitab suci yang terdapat dalam kitab-kitab suci tersebut serta simbol-simbol lainnya.

Pengiklan harus sangat berhati-hati bila menggunakan simbol-simbol keagamaan tersebut dalam suatu iklan komersial (bukan iklan layanan masyarakat). Disarankan agar, bila memang sangat dibutuhkan menampilkan simbol-simbol keagamaan tersebut, melakukan konsultasi dengan para pemuka agama terkait terlebih dahulu agar sesuai dengan persepsi umum yang ada pada umat agama tersebut dan tidak terkesan mengunggulkan suatu agama tertentu (atau memberikan persepsi buruk bagi agama lainnya).

Terkait dengan agama ini, dalam kitab EPI juga ada panduan-panduan lainnya; sebagai berikut:
2.11. Jasa Penyembuhan Alternatif
2.11.2. Iklan penyembuhan alternatif tidak boleh menyalahgunakan simbol, ayat, atau ritual keagamaan sebagai prasyarat penyembuhannya.
2.19. Lembaga Pendidikan dan Lowongan Kerja
2.19.3. Iklan lowongan kerja tidak boleh memberi indikasi adanya diskriminasi atas suku, jenis kelamin, agama, atau ras tertentu, kecuali jika secara khusus menyertakan alasan dibutuhkannya suku, jenis kelamin, agama, atau ras tertentu tersebut.
2.23. Iklan Pamong, Politik, dan Elektoral
2.23.9.  Khusus iklan elektoral berlaku pula ketentuan berikut:
c. Tidak boleh menggunakan tokoh agama atau kutipan ayat-ayat kitab suci dari agama mana pun.

Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!



[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]

Seri EPI 2014: Tanda Asteris (*)

Dalam beberapa seri tulisan, penulis akan menguraikan beberapa butir pedoman etika periklanan yang mengacu pada pada Kitab EPI versi 2014 (bisa diunduh di sini).  

Salah satu panduan dalam kitab EPI yang mengalami perubahan/perbaikan pada tahun 2014 adalah panduan terkait pencantuman tanda asteris (*). Selengkapnya dalam kitab EPI 2014 tercantum sebagai berikut:
1.3  Tanda Asteris (*)
1.3.1  Tanda asteris pada iklan tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, atau membingungkan khalayak tentang harga sebenarnya atau ketersediaan dari produk yang diiklankan.
1.3.2  Tanda asteris pada iklan harus diikuti dengan pencantuman penjelasan tentang maksud dari penandaan tersebut. Pencatuman penjelasan tersebut harus dibuat sedemikian rupa, sehingga mudah terbaca oleh khalayak.
Cukup ketat perdebatan terkait revisi dari butir 1.3 ini karena ada beberapa anggota Tim Revisi EPI 2014 yang mengusulkan agar tanda asteris (*) dilarang digunakan dalam iklan. Bahkan sempat beredar rancangan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) dari KPI yang di dalamnya dengan jelas mencantumkan larangan terhadap penggunaan tanda asteris (*) dalam iklan TV. Usulan penghapusan penggunaan tanda asteris (*) ini disebabkan masih banyaknya para praktisi periklanan dan pengiklan yang menyalahgunakan pemakaian tanda asteris (*) ini; antara lain:
  1. Tanda asteris (*) yang tidak diikuti dengan penjelasan yang lengkap. Diduga bahwa pencantuman tanda asteris (*) sudah cukup dimengerti oleh konsumen/pemirsa sebagai pengganti dari pernyataan "syarat dan ketentuan berlaku" atau "persediaan terbatas" atau yang sejenis itu. Padahal, tanda asteris (*) adalah sekedar simbol bahwa pernyataan tersebut akan dijelaskan dalam suatu catatan kaki (footnote). Penjelasan tersebut dapat berisi kalimat apa saja. Bisa dipelajari lebih lanjut pada referensi ini: http://www.really-learn-english.com/asterisk.html
  2. Tanda asteris (*) sering pula diikuti dengan penjelasan yang sangat sukar dibaca oleh konsumen/pemirsa. Terkesan di sini pengiklan sengaja "menyamarkan/menyembunyikan" keterangan tersebut karena mungkin dinilai penjelasan tersebut akan membuat "daya persuasi" iklannya menurun. Alasan lainnya: mungkin dinilai keterangan tambahan tersebut bila dibuat lebih besar ukuran hurufnya akan "merusak" nilai artistik dari suatu iklan. Padahal, konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang benar, lengkap, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pada akhirnya, Tim Revisi EPI 2014 memutuskan untuk tetap memperbolehkan penggunaan tanda asteris (*) dalam iklan mengingat bahwa penggunaan footnote (catatan kaki) dalam suatu iklan adalah sesuatu yang bersifat wajar/umum dan justru dengan adanya tanda asteris (*) maka konsumen/pemirsa diarahkan untuk mencari penjelasan tambahan tersebut.

Untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan tanda asteris (*), disusunlah revisi panduan terkait tanda asteris (*) seperti tercantum di atas.

Mari kita lihat beberapa contoh ini:

1. Iklan Rexona




Pada iklan ini ada pernyataan "Lebih Baik*" dan "... penjualan No. 1 di dunia*". Sebenarnya pada bagian kiri bawah dari iklan tersebut tercantum penjelasan atas ke dua tanda asteris (*) tersebut. Tapi pencantumannya dapat dinilai sebagai tidak etis karena mengabaikan faktor kejelasan dan kemudahan bagi pemirsa untuk membacanya. Patut dipertanyakan, apakah sebenarnya iklan ini berniat untuk menjelaskan tanda asteris (*) tersebut atau tidak?

Untuk media cetak, kejelasan suatu tulisan ditentukan oleh 2 hal: ukuran huruf dan kontras. Bagian kiri bawah pada iklan di atas berwarna gelap. Penjelasan tanda asteris (*) menggunakan huruf dengan warna hitam.

2. Iklan Mitsubishi Truck


Pada iklan ini terdapat pernyataan "No. 1* di Indonesia". Anda pasti tidak akan dapat menemukan di mana terdapat penjelasan dari tanda asteris (*) tersebut. Penjelasan itu tertulis dengan huruf yang sangat kecil di atas kalimat "Segera hubungi dealer Mitsubhisi terdekat di kota anda" (baris bawah blok warna oranye). Meskipun penulis sudah memberitahukan di mana penjelasan tersebut berada, tulisan tersebut tidak akan terbaca; bahkan dalam materi iklan aslinya di Kompas-pun tidak akan terbaca jelas (padahal penulis sudah menggunakan kaca pembesar).

Pada bagian lain dari kitab EPI, pada butir 4.1.1. tentang Media Cetak, tercantum: "Ukuran huruf pada iklan tidak boleh kurang dari 5,5 point."

3. Iklan Keju Kraft
http://tvcplay.blogspot.com/2014/02/iklan-keju-kraft-versi-dona-agnesia.html

Dalam iklan ini tercantum pernyataan "9 dari 10 ibu memilih keju Kraft*". Lalu pada detik ke 17-18 muncul penjelasan atas tanda asteris (*) tersebut. Pertanyaannya: apakah Anda bisa membaca penjelasan tersebut?

Pada bagian lain dari kitab EPI, pada butir 4.2.4. tentang Media Televisi, tercantum: "Visualisasi tulisan harus mudah terbaca". Dalam konteks media televisi, "mudah terbaca" berarti terkait dengan 3 (tiga) hal; yaitu: ukuran huruf, kontras, dan durasi (lama) penayangan tulisan tersebut (durasi akan terkait dengan panjang tulisan).

Pada iklan di atas, kontras sudah cukup baik, tapi kecilnya ukuran huruf yang digunakan, dan durasi penayangan yang demikian singat (untuk penjelasan sebanyak 2 baris) akan membuat pemirsa sangat kesulitan membaca isi penjelasan tersebut.

Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!



[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]

Seri EPI 2014: Syarat & Ketentuan

Dalam beberapa seri tulisan, penulis akan menguraikan beberapa butir pedoman etika periklanan yang mengacu pada pada Kitab EPI versi 2014 (bisa diunduh di sini).

Salah satu panduan dalam kitab EPI yang ditambahkan (artinya belum terdapat pada kitab EPI versi 2005-2007) adalah panduan terkait pernyataan syarat dan ketentuan. Selengkapnya dalam kitab EPI 2014 tercantum sebagai berikut:

1.25 Syarat dan Ketentuan
1.25.1  Pencantuman pernyataan “syarat dan ketentuan berlaku”dalam iklan harus diikuti dengan keterangan yang menjelaskan di mana dan bagaimana khalayak dapat memenuhi persyaratan dan ketentuan tersebut.
1.25.2  Pernyataan “syarat dan ketentuan berlaku” harus mudah terbaca oleh khalayak.
Dalam pandangan penulis, panduan di atas ditambahkan karena mungkin para anggota tim perumus kitab EPI 2014 menilai bahwa pernyataan "syarat dan ketentuan berlaku" terkesan tidak sepenuhnya mencerminkan asas (dasar falsafah) dari etika periklanan yang berlaku global, yaitu bahwa iklan harus jujur, benar dan bertanggung-jawab.

Pernyataan tersebut sering muncul dalam berbagai iklan di Indonesia. Pernyataan ini digunakan oleh pengiklan untuk "melindungi" dirinya dari keluhan konsumen bila sesuatu terjadi. Hal ini sangat wajar. Tetapi, ada kemungkinan penggunaan pernyataan tersebut disalahgunakan, misalnya:

  1. Syarat dan ketentuan tersebut ternyata tidak konsisten (artinya di satu tempat/waktu dan tempat/waktu lainnya berbeda).
  2. Pernyataan tersebut sekedar untuk menggantikan pernyataan lain, seperti "persediaan terbatas" (yang dalam kitab EPI dinyatakan sebagai pernyataan yang tidak boleh digunakan dalam iklan)
  3. Pernyataan tersebut ditampilkan (biaanya dalam iklan TV) dengan tulisan yang sangat kecil sehingga tidak dapat terbaca oleh pemirsa.
Tanpa mencantumkan rincian dari syarat dan ketentuan tersebut (biasanya karena alasan estetika iklan, uraian yang terlalu panjang, dan lainnya), konsumen beresiko baru mengetahui syarat dan ketentuannya pada saat ia harus membayar atau menutup transaksi tersebut.
 

Mari kita lihat contoh iklan di bawah ini sebagai bahan untuk mengulas lebih lanjut penggunaan pernyataan tersebut.
 
Iklan Matahari Dept. Store di Kompas 24 Mei 2015
Pernyataan "*** Syarat dan ketentuan berlaku" pada iklan Matahari Department Store di atas digunakan untuk menjelaskan tanda *** setelah pernyataan "Beli 2 Gratis 1".

Mengacu pada kitab EPI butir 1.25.1., seharusnya dalam iklan ini langsung dicantumkan "dimana dan bagaimana khalayak dapat memenuhi persyaratan dan ketentuan tersebut". Hal ini akan membuat konsumen menjadi lebih terlindungi dan dengan demikian meningkatkan tingkat kepercayaan konsumen terhadap iklan tersebut.

Caranya sebenarnya mudah sekali. Beberapa alternatif yang bisa dilakukan untuk melengkapi pernyataan tersebut, misalnya:

  • Untuk syarat dan ketentuan, hubungi layanan pelanggan kami di 1234567890
  • Untuk syarat dan ketentuan, silakan lihat di www.abcdefg.com
  • Untuk syarat dan ketentuan, silakan temui Manajer Toko atau Staf Layanan Pelanggan di toko kami
  • Untuk syarat dan ketentuan, silakan baca di poster yang terdapat di rak yang menjual produk kami
Mungkin ada cara-cara lain yang bisa dilakukan juga yang pada intinya membuat konsumen jauh lebih nyaman dalam mengambil keputusan apakah ia akan melakukan transaksi atau tidak SEBELUM konsumen datang ke tempat ia akan bertransaksi tersebut. Hal ini tentunya akan menghilangkan kemungkinan konsumen berpikir bahwa ia akan "dijebak" oleh suatu penawaran.

Penulis juga ingin mengingatkan para pengiklan dan insan periklanan lainnya agar pencantuman pernyataan tersebut (khususnya di media televisi) harus dengan mempertimbangkan kemudahan pemirsa membacanya dengan baik. Artinya ukuran huruf yang digunakan dan durasi penanyangan pernyataan tersebut memadai untuk konsumen membacanya dengan jelas dan tuntas. Sebagai pedoman sederhana, penulis menyarankan agar tulisan tersebut dapat dibaca dengan mudah di layar televisi berukuran 21 inchi pada jarak 1.5 meter.


Salam Pariwara Indonesia yang ber-Etika!


[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]

Seri EPI 2014: Janji Pengembalian Uang (Warranty)

Dalam beberapa seri tulisan, penulis akan menguraikan beberapa butir pedoman etika periklanan yang mengacu pada pada Kitab EPI versi 2014 (bisa diunduh di sini.

Salah satu panduan dalam kitab EPI yang mengalami perubahan/perbaikan adalah panduan terkait pemberian janji pengembalian uang (warranty). Selengkapnya dalam kitab EPI 2014 tercantum sebagai berikut:

1.6  Janji Pengembalian Uang (Warranty)
Jika suatu iklan menjanjikan pengembalian uang ganti rugi atas pembelian suatu produk yang ternyata mengecewakan konsumen,maka:
1.6.1  Nilai pengembaliannya harus sebanding dengan upaya konsumen untuk mengklaimnya dan mencantumkannya  dalam iklan tersebut. (lihat penjelasan)
1.6.2  Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas, lengkap, dan mudah yang antara lain menyangkut jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin dan jangka waktu berlakunya pengembalian.
1.6.3  Pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen, tepat sesuai dengan janji yang tercantum dalam iklan terkait.
Adapun dalam bagian penjelesan untuk butir 1.6.1., tercantum:
1.6.1.  Nilai ganti rugi harus sebanding dengan total biaya yang dikeluarkan oleh konsumen untuk melakukan klaim antara lain biaya transportasi, waktu, dan tenaga. Atau nilai gantirugi harus memperhitungkan biaya transportasi, waktu,dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh konsumen untuk melakukan klaim.
Kebetulan ada contoh yang sangat tepat untuk membahas butir panduan di atas. Silakan perhatikan iklan ini:

Contoh iklan Carefour di Kompas tgl. 22 Mei 2015
Penulis coba tulis ulang di bawah ini bagian yang akan dibahas lebih lanjut:

"GARANSI *** TERMURAH MENGGUNAKAN KARTU KREDIT BANK MEGA".
"*** Garansi uang kembali untuk pembelanjaan di hari yang sama di kota yang sama, di toko modern sejenis dengan menunjukkan bukti serta barang dalam keadaan seperti pada waktu dibeli. Klaim dapat dilakukan maksimal 7 hari setelah pembelian di toko yang sama."


Sepintas, pernyataan dalam iklan tersebut sebenarnya sudah cukup memadai dan sudah sejalan dengan pedoman di EPI 2014 butir 1.6. di atas. Tetapi, seperti penulis sering temukan dalam kasus-kasus lainnya terkait janji pengembalian uang, ada satu hal penting yang penulis nilai kurang etis dalam iklan tersebut.

Suatu iklan yang memberikan janji pengembalian uang tentunya bertujuan agar konsumen memperoleh rasa aman yang lebih tinggi bila terjadi sesuatu pada saat proses pembelian telah terjadi. Janji dari produsen tersebut seharusnya didasari pada suatu niat yang positif dan tulus. Sekarang, mari kita nilai seberapa positif dan tulusnya niat dari pengiklan ini.

Dari narasi yang terdapat dalam iklan tersebut (pada bagian penjelasan atas tanda ***), penulis menginterpretasikannya sebagai berikut: Bila misalnya penulis membeli produk A di Carefour dengan harga Rp 50.000,-, lalu setelah pulang penulis menceritakan pembelian tersebut kepada seorang teman dan teman penulis mengatakan bahwa di tempat lain (asumsikan tempat itu juga di sebuah "toko modern sejenis") produk A harganya lebih murah, maka penulis harus pergi ke toko modern lain tersebut, membeli produk A (misalnya harganya Rp 49.000,-) kemudian kembali ke Carefour dengan membawa bukti-bukti tersebut (barang dan bukti pembayarannya) untuk mendapatkan pengembalian Rp 50.000,- dari Carefour.

Pertanyaan praktisnya: bila Anda sebagai konsumen mengalami hal seperti di atas, apakah Anda akan melakukan langkah-langkah seperti cerita penulis di atas? Mari kita berhitung sedikit. Asumsikan untuk membuktikan bahwa di tempat lain harga produk A memang lebih murah, Anda harus mengeluarkan uang Rp 49.000,- untuk membeli produk tersebut dan ada biaya transportasi ke toko lain tersebut. Setelah itu, Anda harus mengeluarkan lagi biaya transportasi untuk kembali ke Carefour membawa bukti-bukti tersebut. Ilustrasi ini belum memperhitungkan waktu berharga Anda yang terbuang. Belum juga memperhitungkan efek psikologis (kekecewaan) yang Anda alami.

Jadi, ada potensi untuk membuktikan "janji" Carefour tersebut, konsumen malah harus mengeluarkan dana yang cukup besar hanya karena ingin mendapatkan produk dengan selisih harga hanya Rp 1.000,-!! Jadi, siapa konsumen yang akan bertekad membuktikan "garansi" dari Carefour ini? Menurut penilaian penulis, akan sangat kecil kemungkinan konsumen melakukan pembuktian tersebut. Jadi, bila demikian, untuk apa "garansi" tersebut dicantumkan? Mubazir bukan?

Dalam kitab EPI 2014 penjelasan atas butir 1.6.1. disebutkan bahwa "nilai ganti rugi harus sebanding dengan total biaya yang dikeluarkan oleh konsumen untuk melakukan klaim antaralain biaya transportasi, waktu, dan tenaga. Atau nilai gantirugi harus memperhitungkan biaya transportasi, waktu,dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh konsumen untuk melakukan klaim". Sistem "garansi" yang dicantumkan dalam iklan Carefour di atas menunjukkan ketidaksebandingan tersebut. Dengan kata lain, pernyataan "garansi" tersebut tidak akan efektif, bahkan terkesan "basa-basi", mubazir, dan tidak etis.


Bila cara seperti ini diperkenankan, maka dengan sangat mudah semua toko bisa memberikan "janji" bahwa produknya dijual dengan harga paling murah dan membiarkan konsumen yang berlelah-lelah dan menghabiskan biaya pribadinya untuk membuktikan apakah "janji" tersebut benar atau tidak. 

Garansi/janji Carefour tersebut akan jauh lebih efektif bila misalnya disebutkan "konsumen akan menerima 10x lipat dari harga yang dibayarkannya". Garansi/janji seperti ini membuktikan niat positif dan tulus pengiklan. Bila konsumen sudah tidak mempercayai niat positif dan tulus pengiklan, lalu bagaimana konsumen dapat percaya dengan kata "termurah"? Ataukah, ini bisa menjadi salah satu contoh iklan yang "membodohi masyarakat"?
 

Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!

[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]

Dasar-dasar Etika Periklanan – Bagian 2

Bagian ke 2 ini akan lebih fokus pada asas swakramawi yang dianut oleh masyarakat periklanan dunia. Akan diulas apa itu asas swakramawi (self-regulation) dan apa saja dampak/konsekuensi dari asa swakramawi tersebut. Tulisan ini mengacu pada isi dari kitab Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang dapat diunduh di www.p3i-pusat.com.

Pertanyaan-pertanyaan yang sering penulis terima pada saat membahas masalah etika periklanan antara lain adalah:

  • “OK, bagus sudah ada panduan etika dalam industri periklanan, tapi kok mengapa masih banyak iklan yang melanggar ya?”
  • “OK, saya sudah tahu ada panduan etika periklanan, lalu kalau saya melanggarnya, apa sih sanksinya?”
  • “Setahu saya, kalau melanggar etika itu ya paling sanksinya cuma sanksi sosial kan? Apakah itu efektif?”
  • “Mengapa panduan etika itu tidak dijadikan bagian dari peraturan pemerintah atau sekalian dijadikan Undang-Undang Periklanan sehingga orang akan lebih takut akan sanksinya?”
Dan mungkin masih banyak pertanyaan-pertanyaan senada lainnya. Bagian ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan tersebut, walaupun tidak secara runut. Pembahasan mengenai swakramawi (self-regulation) ini sangat penting artinya dalam memahami bagaimana kita (praktisi periklanan/pemasaran dan masyarakat pada umumnya) bersikap dalam menilai industri periklanan ini.

Pengertian Asas Swakramawi

Prinsip swakramawi (self-regulation) adalah prinsip yang dipakai secara universal dalam industri periklanan. Secara sederhana, swakramawi dalam industri periklanan mendasarkan dirinya pada keyakinan bahwa: “suatu etika periklanan akan lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh para pelakunya sendiri.”

Dalam kitab Etika Pariwara Indonesia, disebutkan 4 (empat) alasan utama penerapan asas swakramawi tersebut:

  1. Swakrama menyiratkan kepercayaan yang amat besar dari industri periklanan kepada para pelakunya. Kepercayaan ini selanjutnya diyakini akan memberi mereka dorongan naluriah yang luar biasa untuk senantiasa berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sosial-budaya mereka.
  2. Sebagai bagian dari masyarakat, penerapan swakrama pada komunitas periklanan akan sangat membantu dalam menegakkan sendi-sendi peradaban dalam kehidupan bermasyarakat.
  3. Swakrama dapat meniadakan – setidaknya meminimalkan – campur tangan dari mereka yang kurang memahami periklanan, termasuk pamong (government) atau para penegak hukum, yang justru dapat menghambat perkembangan industri periklanan.
  4. Dari aspek hak asasi dan demokrasi, ia juga merupakan wujud dari kebebasan berpendapat dari komunitas periklanan kepada pihak-pihak lain.

Dalam salah satu teori Psikologi Sosial mengenai perkembangan kepribadian dan tingkat kedewasaan manusia dikenal istilah locus of control (diperkenalkan oleh Julian B. Rotter pada tahun 1954) yang pengertian ringkasnya adalah: (dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/Locus_of_control):
 

One's "locus" (Latin for "place" or "location") can either be internal (meaning the person believes that they control their life) or external (meaning they believe that their environment, some higher power, or other people control their decisions and their life).

Individuals with a high internal locus of control believe that events result primarily from their own behavior and actions. Those with a low internal locus of control believe that powerful others, fate, or chance primarily determine events.

Those with a high internal locus of control have better control of their behavior, tend to exhibit more political behaviors, and are more likely to attempt to influence other people than those with a high external (or low internal respectively) locus of control. Those with a high internal locus of control are more likely to assume that their efforts will be successful. They are more active in seeking information and knowledge concerning their situation.

Internals tend to attribute outcomes of events to their own control. Externals attribute outcomes of events to external circumstances. For example, college students with a strong internal locus of control may believe that their grades were achieved through their own abilities and efforts, whereas those with a strong external locus of control may believe that their grades are the result of good or bad luck, or to a professor who designs bad tests or grades capriciously; hence, they are less likely to expect that their own efforts will result in success and are therefore less likely to work hard for high grades. (It should not be thought however, that internality is linked exclusively with attribution to effort and externality with attribution to luck). This has obvious implications for differences between internals and externals in terms of their achievement motivation, suggesting that internal locus is linked with higher levels of Need for achievement.

Internals were believed by Rotter (1966) to exhibit two essential characteristics: high achievement motivation and low outer-directedness.
Mengacu pada teori locus of control di atas, berarti asas swakramawi adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan internal locus of control dalam industri periklanan. Pendekatan inilah yang dipercaya akan dapat mendewasakan industri ini dan sekaligus meningkatkan kemandirian dan produktifitasnya.

Dalam konteks pengembangan internal locus of control ini, maka tugas utama kita yang berada dalam industri periklanan bukanlah memikirkan sanksi bagi pelanggar etika tapi lebih pada edukasi, sosialisasi dan koordinasi dari segenap komponen dalam industri periklanan.

Etika dan Hukum Positif

Masih cukup banyak anggota masyarakat yang belum mengetahui kaitan etika dengan hukum positif. Ke dua hal ini seringkali dilihat secara terpisah, padahal ke duanya sangat terikat erat satu sama lain. Secara teoritis, dilihat dari sisi luasnya cakupan, etika seharusnya selalu lebih luas cakupannya daripada hukum positif (ya, etika yang lebih luas, bukan hukum positif!). Hukum adalah himpunan bagian dari etika. Pengertiannya adalah: hukum positif adalah sesuatu yang dibuat karena badan regulator pemerintah berpendapat bahwa pedoman perilaku yang ada pada etika dinilai perlu ditulis dalam suatu dokumen resmi negara berikut sanksi yang tegas. Dalam situasi ideal, hukum positif tidaklah mencakup semua aspek yang ada pada cakupan etika. Seseorang dapat saja tidak sejalan dengan etika tanpa harus otomatis dinilai melanggar hukum positif. Tapi, setiap pelanggaran terhadap hukum positif adalah otomatis merupakan tindakan yang tidak etis.

Contoh sederhana untuk menggambarkan hubungan etika dengan hukum positif: sebagai seorang dosen, penulis menggunakan celana pendek, kaos oblong dan sendal jepit saat mengajar. Perilaku tersebut pasti akan dinilai tidak etis oleh manajemen perguruan tinggi tersebut. Tapi tindakan tersebut pastinya tidak melanggar hukum positif manapun. Seorang dosen yang mengajar sambil merokok, padahal perguruan tinggi tersebut sudah menerapkan aturan pemerintah mengenai area bebas merokok berarti melanggar hukum positif sekaligus melanggar etika perguruan tingginya.

Dalam dunia periklanan, sangat disayangkan (pendapat pribadi penulis) bahwa kondisi teoritis antara etika dan hukum positif tersebut sudah sangat kacau-balau. Banyak undang-undang di Indonesia yang mencampur-adukkan antara area cakupan etika dan area cakupan hukum positif. Salah satu contoh yang dapat disajikan di sini adalah kutipan dari UU RI No. 8/1999, tentang Perlindungan Konsumen pasal 17 ayat 1 yang berbunyi: ”Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang .... f.  melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.”

Ya, pelanggaran etika periklanan di Indonesia dapat dikenakan sanksi hukum positif (dalam UU RI No. 8/1999 tercantum pada pasal 62 ayat 2 berupa ”pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah)”).

Sebagai penganut swakramawi, kita pantas bersedih dengan kondisi ini karena aturan ini telah memindahkan locus of control industri periklanan dari internal menjadi eksternal! Pelanggaran etika iklan dapat dilihat bukan lagi sebagai ketakutan atas ketidak-dewasaan dirinya sendiri tapi lebih takut karena adanya sanksi hukum dari pemerintah.

Marilah kita ”mengabaikan” adanya aturan-aturan pemerintah mengenai periklanan tersebut dan mari kita lebih fokus pada pedoman etika (Etika Pariwara Indonesia) yang dibentuk oleh para praktisi pemasaran dan periklanan di Indonesia! Mari kita lebih fokus pada penegakkan etika karena kita harus tetap yakin bahwa hanya industri kitalah yang paling mengetahui kondisi industri kita ini dan hanya kitalah yang dapat meneggakkan aturan-aturan internal kita sendiri. Toh, secara otomatis, setiap pelanggaran terhadap hukum positif adalah tindakan yang tidak etis.

Dalam pemahaman ini, penulis berprinsip penyusunan Undang-Undang Periklanan adalah sama-sekali tidak relevan. Meskipun dalam penyusunan UU tersebut pihak industri akan dimintakan pendapatnya, tidak dapat dipungkiri, UU tersebut akan melibatkan stakeholders lain; yaitu kalangan politisi seperti berbagai pejabat di berbagai departemen kementerian, berbagai partai politik dan komisi di DPR. Industri kita tidak akan dapat sepenuhnya mengontrol apa yang diinginkan oleh para stakeholders di luar industri periklanan ini!

Dari sudut lain, penulis percaya bahwa setiap UU otomatis menimbulkan kondisi high-cost economy! Selain proses penyusunannya yang akan memakan banyak waktu dan biaya, penegakkannya juga pastinya akan menimbulkan biaya-biaya yang sebenarnya seluruh biaya-biaya tersebut dibebankan kepada masyarakat melalui iuran pajak mereka! Belum lagi emotional cost yang harus ditanggung industri ini karena harus melakukan kompromi-kompromi dengan pihak-pihak yang sebenarnya berada di luar industri periklanan.

Dapat pula dianalogikan bahwa ”semakin banyak hukum positif berarti negara itu semakin banyak masalah”. Dan bagi yang percaya bahwa ”hukum dibuat untuk dilanggar” berarti ”semakin banyak hukum, semakin banyak pelanggaran”. Uhhh!! Negara yang ”tidak banyak aturan” berarti dihuni oleh masyarakat madani (civil society) yang mempunyai kekuatan moral dan etika yang kuat!

Sanksi

Dalam kitab Etika Pariwara Indonesia bagian IV.E. disebutkan beberapa sanksi; yaitu:

1.   Bentuk sanksi terhadap pelanggaran memiliki bobot dan tahapan, sebagai berikut:
1.1 Peringatan, hingga dua kali
1.2 Penghentian penyiaran atau mengeluarkan rekomendasi sanksi kepada lembaga-lembaga terkait dan atau menginformasikan kepada semua pihak yang berkepentingan

Tidak ada sanksi hukum di sini! Apakah akan efektif? Jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya berpulang kepada diri kita masing-masing. Etika hanya punya satu ”senjata” dalam kaitannya dengan sanksi; yaitu: rasa malu dan rasa bersalah! Seseorang (atau industri) yang dewasa adalah mereka yang menyadari kesalahannya dan malu untuk mengulangi kesalahan itu kembali. Seorang anak kecil (belum dewasa) lebih membutuhkan rasa takut dari pihak-pihak luar (orang-tua, sekolah dan sebagainya) untuk mencegah ia melakukan hal yang salah. Bukankah seorang dewasa seharusnya lebih mempunyai internal locus of control? Jadi, penilaian kita terhadap kedewasaan industri inilah yang akan menentukan apakah sanksi tersebut akan efektif ataukah tidak.

Seringkali kita mengabaikan sanksi sosial/organisasi yang dianggap ”terlalu ringan”. Padahal contoh-contoh yang ada di sekitar kita membuktikan hal yang sangat bertolak-belakang. Penulis akan coba sampaikan beberapa contoh untuk membuktikan bahwa pelanggaran etika dengan sanksi sosialnya jauh lebih kuat daripada sanksi hukum manapun juga.

Kasus pertama adalah jatuhnya regim Soeharto. Apakah pada saat Pak Harto mengundurkan diri posisi beliau berstatus sebagai ”terdakwa pelanggaran hukum”? Sejarah mencatat bahwa pada saat itu tidak ada pelanggaran hukum apapun yang ia lakukan! Lalu kenapa ia mundur? Tekanan moral dan etika dari masyarakat!

Kasus ke dua justru menampilkan situasi yang sebaliknya; kasus Koin Prita. Pada saat muncul gerakan masyarakat mendukung Prita Mulyasari (dengan Koin Prita), apakah Prita seseorang yang ”benar” di mata hukum positif? Tidak! Pada saat itu, Prita adalah seorang terdakwa dan bahkan ia telah diputuskan bersalah oleh hukum positif sehingga dikenakan sanksi pidana (denda dan tahanan). Apakah Prita di mata masyarakat (yang melihat dari sudut moral dan etika) juga menilai ia melakukan kesalahan? Tidak! Dukungan terhadap program Koin Prita membuktikan hal tersebut. Bahkan karena tekanan moral masyarakat tersebut sanksi pidana Prita dapat dicabut.

Ya, etika dapat merubah hukum positif, bukan sebaliknya. Hal ini membuktikan kekuatan etika dan moral masyarakat. Gejolak politik yang terjadi saat ini di Afrika, Timur Tengah serta bebeberapa negara teluk memberikan kita bukti-bukti kekuatan etika dan moral terhadap kekuatan hukum. Seorang Hosni Mobarak yang telah berkuasa selama 30 tahun dan identik dengan hukum di negara Mesir pun dapat dilengserkan.

Penutup

Sebagai penutup dari 2 (dua) bagian tulisan mengenai dasar-dasar etika periklanan ini, penulis ingin sekali lagi menekankan pentingnya pemahaman dan pembedaan antara iklan dengan berita. Analisa dan justifikasi kita atas etika periklanan haruslah bersandar pada pedoman etika periklanan yang berlaku di masyarakat kita. Kitab Etika Pariwara Indonesia hanyalah salah satu panduan yang berusaha mencatat (dibukukan) aspek-aspek sosial budaya masyarakat Indonesia yang dapat berfungsi sebagai negative consumer insights; yaitu hal-hal yang dinilai sebagai tidak etis dalam konteks iklan di Indonesia. Kitab tersebut adalah milik seluruh masyarakat Indonesia dan terbuka untuk pengembangan lebih lanjut sehingga selalu sejalan dengan kondisi sosial budaya masyarakat terkini.

Himbauan terakhir adalah: jangan terpaku pada sanksi! Marilah kita lebih fokus pada proses pendewasaan industri ini dengan melakukan edukasi, sosialisasi dan koordinasi dari segenap komponen dalam industri periklanan. Penegakkan etika periklanan adalah salah satu bagian penting dalam proses penegakkan nilai-nilai luhur budaya bangsa kita dan sekaligus satu langkah penting dalam mencapai kondisi masyarakat madani (civil society).

Salam Pariwara ber-Etika!

Tulisan bagian 1 dapat dilihat di sini