Kamis, 04 Agustus 2016

Seri EPI 2014: Tanda Asteris (*)

Dalam beberapa seri tulisan, penulis akan menguraikan beberapa butir pedoman etika periklanan yang mengacu pada pada Kitab EPI versi 2014 (bisa diunduh di sini).  

Salah satu panduan dalam kitab EPI yang mengalami perubahan/perbaikan pada tahun 2014 adalah panduan terkait pencantuman tanda asteris (*). Selengkapnya dalam kitab EPI 2014 tercantum sebagai berikut:
1.3  Tanda Asteris (*)
1.3.1  Tanda asteris pada iklan tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, atau membingungkan khalayak tentang harga sebenarnya atau ketersediaan dari produk yang diiklankan.
1.3.2  Tanda asteris pada iklan harus diikuti dengan pencantuman penjelasan tentang maksud dari penandaan tersebut. Pencatuman penjelasan tersebut harus dibuat sedemikian rupa, sehingga mudah terbaca oleh khalayak.
Cukup ketat perdebatan terkait revisi dari butir 1.3 ini karena ada beberapa anggota Tim Revisi EPI 2014 yang mengusulkan agar tanda asteris (*) dilarang digunakan dalam iklan. Bahkan sempat beredar rancangan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) dari KPI yang di dalamnya dengan jelas mencantumkan larangan terhadap penggunaan tanda asteris (*) dalam iklan TV. Usulan penghapusan penggunaan tanda asteris (*) ini disebabkan masih banyaknya para praktisi periklanan dan pengiklan yang menyalahgunakan pemakaian tanda asteris (*) ini; antara lain:
  1. Tanda asteris (*) yang tidak diikuti dengan penjelasan yang lengkap. Diduga bahwa pencantuman tanda asteris (*) sudah cukup dimengerti oleh konsumen/pemirsa sebagai pengganti dari pernyataan "syarat dan ketentuan berlaku" atau "persediaan terbatas" atau yang sejenis itu. Padahal, tanda asteris (*) adalah sekedar simbol bahwa pernyataan tersebut akan dijelaskan dalam suatu catatan kaki (footnote). Penjelasan tersebut dapat berisi kalimat apa saja. Bisa dipelajari lebih lanjut pada referensi ini: http://www.really-learn-english.com/asterisk.html
  2. Tanda asteris (*) sering pula diikuti dengan penjelasan yang sangat sukar dibaca oleh konsumen/pemirsa. Terkesan di sini pengiklan sengaja "menyamarkan/menyembunyikan" keterangan tersebut karena mungkin dinilai penjelasan tersebut akan membuat "daya persuasi" iklannya menurun. Alasan lainnya: mungkin dinilai keterangan tambahan tersebut bila dibuat lebih besar ukuran hurufnya akan "merusak" nilai artistik dari suatu iklan. Padahal, konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang benar, lengkap, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pada akhirnya, Tim Revisi EPI 2014 memutuskan untuk tetap memperbolehkan penggunaan tanda asteris (*) dalam iklan mengingat bahwa penggunaan footnote (catatan kaki) dalam suatu iklan adalah sesuatu yang bersifat wajar/umum dan justru dengan adanya tanda asteris (*) maka konsumen/pemirsa diarahkan untuk mencari penjelasan tambahan tersebut.

Untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan tanda asteris (*), disusunlah revisi panduan terkait tanda asteris (*) seperti tercantum di atas.

Mari kita lihat beberapa contoh ini:

1. Iklan Rexona




Pada iklan ini ada pernyataan "Lebih Baik*" dan "... penjualan No. 1 di dunia*". Sebenarnya pada bagian kiri bawah dari iklan tersebut tercantum penjelasan atas ke dua tanda asteris (*) tersebut. Tapi pencantumannya dapat dinilai sebagai tidak etis karena mengabaikan faktor kejelasan dan kemudahan bagi pemirsa untuk membacanya. Patut dipertanyakan, apakah sebenarnya iklan ini berniat untuk menjelaskan tanda asteris (*) tersebut atau tidak?

Untuk media cetak, kejelasan suatu tulisan ditentukan oleh 2 hal: ukuran huruf dan kontras. Bagian kiri bawah pada iklan di atas berwarna gelap. Penjelasan tanda asteris (*) menggunakan huruf dengan warna hitam.

2. Iklan Mitsubishi Truck


Pada iklan ini terdapat pernyataan "No. 1* di Indonesia". Anda pasti tidak akan dapat menemukan di mana terdapat penjelasan dari tanda asteris (*) tersebut. Penjelasan itu tertulis dengan huruf yang sangat kecil di atas kalimat "Segera hubungi dealer Mitsubhisi terdekat di kota anda" (baris bawah blok warna oranye). Meskipun penulis sudah memberitahukan di mana penjelasan tersebut berada, tulisan tersebut tidak akan terbaca; bahkan dalam materi iklan aslinya di Kompas-pun tidak akan terbaca jelas (padahal penulis sudah menggunakan kaca pembesar).

Pada bagian lain dari kitab EPI, pada butir 4.1.1. tentang Media Cetak, tercantum: "Ukuran huruf pada iklan tidak boleh kurang dari 5,5 point."

3. Iklan Keju Kraft
http://tvcplay.blogspot.com/2014/02/iklan-keju-kraft-versi-dona-agnesia.html

Dalam iklan ini tercantum pernyataan "9 dari 10 ibu memilih keju Kraft*". Lalu pada detik ke 17-18 muncul penjelasan atas tanda asteris (*) tersebut. Pertanyaannya: apakah Anda bisa membaca penjelasan tersebut?

Pada bagian lain dari kitab EPI, pada butir 4.2.4. tentang Media Televisi, tercantum: "Visualisasi tulisan harus mudah terbaca". Dalam konteks media televisi, "mudah terbaca" berarti terkait dengan 3 (tiga) hal; yaitu: ukuran huruf, kontras, dan durasi (lama) penayangan tulisan tersebut (durasi akan terkait dengan panjang tulisan).

Pada iklan di atas, kontras sudah cukup baik, tapi kecilnya ukuran huruf yang digunakan, dan durasi penayangan yang demikian singat (untuk penjelasan sebanyak 2 baris) akan membuat pemirsa sangat kesulitan membaca isi penjelasan tersebut.

Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!



[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar