Jumat, 12 Agustus 2016

Seri EPI 2014: Bahasa (Bagian 2)

Dalam bagian ke dua ini, penulis akan mencoba menjabarkan Etika Pariwara Indonesia Bab III.A. butir 1.2.3 bagian a), b) dan c) yang selengkapnya berbunyi:
1.2.3  Penggunaan kata-kata tertentu harus memenuhi ketentuan berikut:
  1. Penggunaan kata ”100%”, ”murni”, ”asli” atau yang bermakna sama untuk menyatakan sesuatu kandungan, kadar, bobot, tingkat mutu, dan sebagainya, kecuali jika disertai dengan bukti yang dapat dipertanggunjawabkan. (lihat penjelasan)
  2. Kata halal pada sesuatu produk hanya dapat disiarkan sesudah produk tersebut memperoleh sertifikat halal resmi dari lembaga yang berwenang.
  3. Kata ”halal” tidak boleh dieksploitasi. (lihat definisi dan penjelasan)
Terkait dengan butir 1.2.3.a., bagi praktisi periklanan, penulis menganjurkan untuk selalu bersikap kritis dan melihat dulu dari mana klaim "100%", "murni", "asli" atau yang bermakna tersebut berasal. 

1. Bila klaim tersebut sudah ada di kemasan produk (misalnya suatu produk pangan dalam kemasannya mencantumkan klaim "madu asli"), maka cukup dapat dijadikan pegangan bahwa klaim tersebut juga dapat digunakan dalam iklannya. Asumsinya adalah bahwa sudah ada aturan pemerintah yang cukup ketat untuk pencantuman klaim-klaim seperti di atas; khususnya untuk produk-produk pangan dan obat-obatan. 

Contoh: 
a. pemerintah pasti tidak akan memberikan ijin penggunaan klaim "sari buah asli" dalam kemasan suatu produk minuman yang sebenarnya di dalam kemasan itu berisi bahan-bahan tambahan lain (misalnya: air, pengawet, vitamin tambahan dan sebagainya). 
b. pemerintah pasti tidak akan memberikan ijin penggunaan klaim "asli Papua" dalam kemasan suatu produk pangan bila sebenarnya bahan dasar dari produk itu bukan di dapat dari Papua (walaupun mungkin aslinya bahan itu berasal dari Papua, tapi bahan yang digunakan oleh produk tersebut adalah bahan yang dikembangkan di daerah lain).

2. Bila klaim tersebut diminta oleh produsen/pengiklan untuk dicantumkan dalam iklannya tapi tidak tercantum dalam kemasan produknya, maka praktisi periklanan sebaiknya berhati-hati dan meminta dokumen-dokumen penunjang atas klaim tersebut (hasil penelitian, surat dukungan dari lembaga pemerintah dan sebagainya) sebelum menyetujui untuk menggunakan klaim tersebut. 

Contoh:
a. Klaim "100% komponen dalam negeri" perlu didukung oleh fakta bahwa dalam produk tersebut tidak ada komponen yang produksinya bukan dari dalam negeri
b. Klaim "100% membunuh kuman" perlu didukung oleh hasil penelitian yang obyektif. Berdasarkan pengalaman penulis, untuk iklan produk pangan dan produk yang terkait dengan kesehatan (obat-obatan, perawatan tubuh, perawatan rumah-tangga, dan sebagainya), sangat tidak dianjurkan untuk menggunakan klaim "100% membunuh kuman"; karena secara logika sederhana, kuman adalah mikro-organisme di mana kemampuan manusia bisa melihat kuman (yang bisa dikatakan "tak terhingga jumlahnya") akan sangat terbatas tergantung pada teknologi yang tersedia. Akan lebih "aman" menuliskan "100% membunuh kuman X" dengan asumsi memang ada penelitian ilmiah yang mendukung bahwa kuman X terbunuh habis oleh produk tersebut. 
c. Pernah ada kasus suatu bank menggunakan klaim "Investasi 100% aman". Hal ini juga sangat tidak disarankan. Iklan atas suatu produk yang pada dasarnya mengandung resiko (seperti investasi, asuransi, dan sebagainya), tidaklah mungkin 100% aman. 

Penulis menyadari bahwa tidak akan mudah membahas butir 1.2.3.b. dan 1.2.3.c. karena masalah "halal" ini menyangkut suatu terminologi yang sangat erat kaitannya dengan agama Islam; apalagi penulis bukan beragama Islam. Dalam bahasan ini, penulis ingin menekankan bahwa penjelasan yang penulis sampaikan bukanlah suatu analisa keagamaan, tapi sebatas pemahaman konteks penggunaan kata "halal" dalam suatu karya iklan.

Dalam bagian definisi mengenai kata "halal" dalam kitab EPI, ditekankan bahwa definisi/batasan mengenai "halal" tersebut mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Pasal 1 ayat 5. Sebagai referensi tambahan (yang saat EPI versi 2014 diterbitkan, dokumen ini belum tercatat), pada bulan Oktober 2014 telah diterbitkan Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

Dengan penekanan tersebut, penulis ingin menyatakan bahwa pemahaman atas "halal" di sini bisa tidak sama persis dengan pemahaman "halal" dalam konteks agama Islam. Penulis beranggapan bahwa pengertian "halal" dalam konteks aturan hukum tersebut lebih kecil lingkupnya daripada pengertian "halal" dalam konteks agama. Uraian selanjutnya semoga dapat memperjelas perbedaan tersebut. 

Satu hal yang pasti, klaim "halal" hanya dapat dilakukan oleh produk yang memang sudah mendapatkan sertifikat "halal" dari lembaga yang diakui oleh pemerintah untuk mengeluarkan sertifikat tersebut (sepengetahuan penulis: Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia/LPPOM-MUI sedangkan pada UU No. 33/2014 diamanatkan terbentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal/BPJPH). 

Yang lebih sukar dijelaskan adalah butir 1.2.3.c. Apakah yang dimaksud dengan "eksploitasi" pernyataan "halal"? Dalam bagian penjelasan, kitab EPI menjelaskannya sebagai berikut: Eksploitasi kata halal adalah penggunaan label halal atau kata halal sebagai pesan utama yang dikampanyekan dengan tujuan untuk merayu, membujuk atau mempengaruhi proses pembelian. Kata halal hanya boleh dicantumkan sebagai informasi atau fakta.

Beberapa contoh berikut dapat membantu menjelaskan hal tersebut:

1. "Sudah halalkah produk susu yang anda gunakan?"
2. "Pelopor produk es krim halal di Indonesia"
3. "Pastikan produk camilan anak anda halal!"
4. "Pakai produk kami yang halal agar disayang Allah"
dan sejenisnya

Dalam tulisan sebelumnya terkait dengan tema "Agama" dalam periklanan, jelas disebutkan bahwa tidaklah etis mengiklankan/mempromosikan suatu agama. Panduan 1.2.3.b. dan 1.2.3.c. terkait dengan hal tersebut juga. Contoh-contoh di atas dengan mudah disalah-artikan oleh konsumen (khususnya yang beragama Islam). 

Dalam UU No. 33/2014, pasal 1 ayat 3, disebutkan bahwa: "Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin
kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk."  Dengan demikian, menurut pendapat penulis, "serfikat halal" tersebut tidak menjangkau, misalnya kasus-kasus sebagai berikut:

1. Apakah modal usaha dari perusahaan sebagai produsen produk tersebut diperoleh dari hasil korupsi atau perilaku yang diharamkan lainnya?
2. Apakah konsumen mendapatkan produk tersebut dengan cara yang "halal"? Contoh ekstrim: Seseorang yang mencuri mie instant berlogo halal dari suatu toko lalu memakannya seharusnya tidak bisa mengatakan bahwa ia telah menyantap "hidangan halal". 
3. Apakah produk tersebut dipromosikan/diiklankan dengan cara-cara yang beretika dan/atau sesuai hukum yang berlaku? Bila suatu produk bersertifikat halal dipromosikan dengan cara-cara yang tidak etis dan/atau sesuai dengan hukum yang berlaku, maka dapat dipertanyakan nilai ke-"halal"an dari produk tersebut. Contoh: produk bersertifkat halal yang menjelek-jelekan dan menjatuhkan produk lain yang tidak bersertifikat halal dapat dinilai sebagai tidak etis. 

Singkatnya, proses sertifikasi "halal" dari pemerintah tersebut tidak akan mungkin menjangkau seluruh aspek ke-"halal"-an suatu produk. Dalam pengertian inilah, maka dalam EPI disarankan tidak mengekploitasi pernyataan "halal". Dalam iklan, cukup sebutkan bahwa produk tersebut "sudah bersertifikat halal" tanpa harus dielaborasi lebih jauh.

Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!

[bersambung ke Bagian 3]


[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar