Jumat, 12 Agustus 2016

Seri EPI 2014: Bahasa (Bagian 1)

Pada tulisan ini, penulis akan membahas salah satu butir panduan dalam kitab Etika Pariwara Indonesia yang sangat sering dilanggar oleh para praktisi periklanan; yaitu unsur Bahasa dalam iklan. Bab III.A. Butir 1.2 dalam kitab EPI memberikan cukup banyak pedoman terkait bahasa dalam iklan sehingga bahasannya akan disampaikan dalam beberapa bagian. Kutipan selengkapnya dari butir 1.2. adalah sebagai berikut:
1.2 Bahasa
  1. 1.2.1  Iklan harus disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak sasarannya.
  2. 1.2.2  Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“, dan/atau yang bermakna sama, kecuali jika disertai dengan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. (lihat penjelasan)
  3. 1.2.3  Penggunaan kata-kata tertentu harus memenuhi ketentuan berikut:
    1. Penggunaan kata ”100%”, ”murni”, ”asli” atau yang bermakna sama untuk menyatakan sesuatu kandungan, kadar, bobot, tingkat mutu, dan sebagainya, kecuali jika disertai dengan bukti yang dapat dipertanggunjawabkan. (lihat penjelasan)
    2. Kata halal pada sesuatu produk hanya dapat disiarkan sesudah produk tersebut memperoleh sertifikat halal resmi dari lembaga yang berwenang.
    3. Kata ”halal” tidak boleh dieksploitasi. (lihat definisi dan penjelasan)
    4. Kata-kata ”presiden”, ”raja”, ”ratu”, dan sejenisnya tidak boleh digunakan dalam kaitan atau konotasi yang negatif.
    5. Penggunaan kata ”satu-satunya”, ”hanya”, ”cuma”, atau yang bemakna sama tidak boleh digunakan, kecuali jika secara khas disertai dengan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan, dalam hal apa produk tersebut menjadi satu-satunya. (lihat penjelasan)
    6. Kata “gratis”, “cuma-cuma”, atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, jika ternyata ada biaya lain yang harus dibayar konsumen. (lihat penjelasan) 


Butir 1.2.1. penulis rasa cukup mudah dipahami. Perlu dicatat bahwa kitab Etika Pariwara Indonesia tidak menetapkan bahwa semua iklan harus berbahasa Indonesia. Iklan boleh saja menggunakan bahasa daerah ataupun bahasa asing, selama bahasa tersebut dapat dipahami khalayak sasarannya. 

Butir 1.2.2. adalah panduan yang paling sering dilanggar oleh para praktisi periklanan. Laporan Badan Pengawas Periklanan P3I dari tahun ke tahun menunjukkan sekitar 1/3 pelanggaran etika periklanan ada pada butir ini saja. Sangat disayangkan bahwa para praktisi periklanan masih menganggap penggunaan kata superlatif adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mendapatkan perhatian pemirsa (dari sudut lain artinya masih ada anggapan bahwa masyarakat di Indonesia sangat mudah "dirayu" dengan pernyataan superlatif ini). 

Isi dari butir ini dalam sudut pandang yang lain dapat dituliskan dengan "Iklan  boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“, dan/atau yang bermakna sama, bila disertai dengan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan". Tapi yang sering terjadi, penggunaan kata superlatif tersebut tidak disertai dengan bukti-bukti tersebut. Dalam penjelasannya, bukti-bukti tersebut adalah "penjelasan sah berupa survei atau riset dari lembaga independen kredibel yang menjelaskan tentang pencapaian sebuah produk."

Penulis berpendapat bahwa dalam beberapa kasus khusus, boleh saja suatu pernyataan superlatif tidak didukung oleh data survei/riset yang independen SELAMA: 

1. Pernyataan superlatif tersebut digunakan untuk menampilkan perbandingan dengan produk dari pengiklan itu sendiri yang disampaikan sedemikian rupa sehingga mudah dimengerti oleh pemirsa. Contoh:

  • Jenis shampoo terbaru dari rangkaian produk shampoo A
  • Cluster terbaru dari ABC Real-Estate
  • Produk tabungan dari Bank XYZ dengan bunga tertinggi dibandingkan produk tabungan Bank XYZ lainnya
  • Pasar Swalayan X di kota ABC yang terluas dari jaringan Pasar Swalayan X
2. Penggunaan pernyataan superlatif atas sesuatu hal dengan asumsi yang kuat bahwa mayoritas masyarakat luas (khususnya yang menjadi sasaran utama dari iklan tersebut) telah mengetahui sebelumnya bahwa hal tersebut memang benar. Contoh:

  • Penyedia jasa telekomunikasi seluer T adalah penyedia jasa telekomukasi seluler dengan jumlah pelanggan terbanyak
  • Bank B dengan jumlah kantor cabang terbanyak di Indonesia
  • BUMN P adalah pemasok bahan bakar terbesar di Indonesia
Contoh di mana penggunaan pernyataan superlatif tidak tepat dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya adalah:

Slogan MatahariMall.com
Pernyataan "#1 eCommerce" adalah suatu pernyataan yang bersifat superlatif (tanda "#" dibaca sebagai "Nomor"). Slogan tersebut digunakan oleh MatahariMall.com sejak awal mereka meluncurkan situs belanja tersebut di bulan September 2015 dan sampai dengan saat ini penulis tidak dapat memahami dalam konteks apakah mereka "#1"? Apakah jumlah produk yang dijual di situs tersebut? Apakah jumlah pengunjung situsnya? Ataukah mereka adalah situs pertama yang menyediakan layanan belanja on-line? Atau ada alasan yang lain?

Suatu produk yang berani beriklan dengan menyebutkan dirinya "Nomor 1" seharusnya secara obyektif harus mampu menyebutkan juga, siapa "nomor 2" dan seterusnya. Contoh klasik adalah iklan/promosi kecap di masa lalu yang semuanya menggunakan klaim "Kecap No. 1" sehingga akibatnya konsumen menjadi bingung dan tidak mendapatkan informasi yang benar tentang kualitas dari produk kecap itu sendiri. Akibatnya kemudian konsumen tidak percaya lagi terhadap klaim "Kecap No. 1" tersebut. Muncul ungkapan "ngecap" sebagai analogi "asal bicara/bohong".

Solusinya sebenarnya sederhana bila ingin tetap menggunakan pernyataan superlatif. Carilah lembaga penelitian independen yang dapat mendukung pernyataan tersebut, mintalah ijin kepada lembaga penelitian tersebut untuk menggunakan data mereka untuk mendukung klaim tersebut, dan cantumkan hasil penelitian tersebut dalam iklan tersebut (lihat juga EPI Bab III.A. butir 4.15. tentang Penggunaan Data Riset).


Penggunaan data hasil penelitian yang obyektif menjadi semakin penting bila pernyataan superlatif yang digunakan terkait dengan masalah kualitas (bukan sesuatu yang sifatnya kuantitatif); misalnya: paling modern, paling enak, paling aman, dan sejenisnya.


Suatu pernyataan superlatif pastilah mengandung unsur perbandingan. Permasalahan bisa muncul bila perbandingan tersebut bersifat eksternal (artinya diarahkan kepada produk pesaing). Perbandingan yang tidak benar, tidak tepat, dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan berpotensi bertentangan dengan EPI Bab III.A. butir 1.18 tentang Perbandingan (akan dibahas dalam tulisan lain). 

Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!

[bersambung ke Bagian 2]


[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar