Dalam beberapa seri tulisan, penulis akan menguraikan beberapa butir pedoman etika periklanan yang mengacu pada pada Kitab EPI versi 2014 (bisa diunduh di sini).
Salah satu panduan dalam kitab EPI yang mengalami perubahan/perbaikan adalah panduan konten iklan terkait agama. Ada 2 panduan terkait agama dalam periklanan. Selengkapnya dalam kitab EPI 2014 tercantum sebagai berikut:
1.29. Agama
1.29.1 Iklan tidak boleh merendahkan nilai-nilai agama
1.29.2 Penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam iklan tidak boleh dieksploitasi, agar tidak menimbulkan perbedaan persepsi pada para penganut agama tersebut.
2.27. AgamaPerbedaan antara ke dua butir panduan tersebut sebenarnya sederhana. Butir 1.29. lebih melihat dari sisi "Isi Iklan" sedangkan butir 2.27 lebih melihat dari sisi "Ragam Iklan". Cakupan butir 1.29 lebih luas karena mencakup segala iklan dari berbagai produk yang menggunakan pendekatan "keagamaan". Sedangkan butir 2.27. dikhususkan hanya untuk "iklan tentang agama".
2.27.1. Agama dan kepercayaan tidak boleh diiklankan dalam bentuk apapun.
2.27.2. Kegiatan atau ritual keagamaan boleh diiklankan selama sebatas memberikan informasi tentang agama, tema, tempat, waktu, pembicara, dan sebagainya.
2.27.3. Penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam iklan tidak boleh dieksploitasi, agar tidak menimbulkan perbedaan persepsi pada para penganut agama tersebut.
Butir 1.29.1. penulis rasa sudah cukup jelas. Sedangkan untuk butir 1.29.2. dapat diuraikan sedikit sebagai berikut: suatu produk yang beriklan dengan menggunakan latar-belakang (misalnya) tempat ibadah, haruslah memperhatikan tata-krama yang berlaku di rumah ibadah tersebut karena rumah ibadah adalah salah satu simbol keagamaan.
Butir 2.27.1. penulis rasa cukup jelas. Tidaklah etis untuk mengiklankan suatu agama dengan tujuan mengunggulkan agama tersebut (karena iklan selalu bersifat persuasif) atau membuat orang yang beragama lain berpindah agama. Pengecualian tentang hal ini hanya bila iklan tersebut merupakan "pengumuman" dari suatu kegiatan/ritual keagamaan (2.27.2.). Misalnya: ajakan untuk menghadiri doa bersama, menghadiri perayaan hari besar suatu agama, dan sejenisnya. Tetap harus diingat di sini bahwa dalam iklan yang bersifat "pengumuman" tersebut, tetap tidak diperkenankan mengandung pesan yang mengiklankan agama itu sendiri.
Butir 2.27.3. dapat penulis jelaskan dengan contoh kasus berikut: beberapa waktu yang lalu muncul iklan "terselubung" (biasanya dalam bentuk iklan built-in/tersisip) pada suatu rubrik/program/tayangan yang terkait dengan suatu kegiatan agama tertentu. Contoh yang bisa penulis berikan adalah (maaf, materi rekamannya tidak tersedia): dalam bulan Ramadhan di beberapa waktu yang lalu, setiap stasiun TV umumnya menayangkan tayangan khusus pada saat menjelang beduk berbuka puasa. Tayangan tersebut biasanya berupa doa (adzan Magrib) yang diakhiri dengan visual dan audio beduk berbuka puasa. Sangat disayangkan bahwa pada tayangan tersebut, beberapa stasiun TV menggunakannya sebagai sarana untuk menayangkan iklan komersial secara built-in/tersisip.
Menurut pendapat beberapa rekan penulis, cara seperti itu tidaklah etis. Suatu doa tidaklah pantas disisipi dengan suatu iklan atau menjadi media periklanan. Bayangkan hal seperti ini terjadi: bila di gereja atau masjid doa sedang berjalan lalu di tempat ibadah itu ada proyektor yang menayangkan iklan suatu produk (walaupun iklan tersebut tidak ada suaranya, hanya visual), apakah hal tersebut dapat diterima oleh para umatnya? Boleh saja dalam suatu doa diiringi dengan tayangan visual dan audio yang makin membuat khusuk doa para umat, tapi pastinya bukan berupa iklan; sebagus apapun iklan tersebut.
Dalam pengertian yang lebih luas: simbol-simbol keagamaan antara lain dapat berbentuk lambang keagamaan (seperti bulan-sabit untuk agama Islam, salib untuk agama Kristen/Katholik, swastika untuk agama Hindu dsb.), tokoh-tokoh penting dalam suatu agama (Nabi Muhammad SAW, Yesus, Budha, dsb.), tempat ibadah (masjid, gereja, vihara, pura, kelenteng, dsb.), kegiatan peribadatan umat beragama (sholat, misa, Galungan, ibadah perkawinan, dsb.), kitab suci agama (Al-Qur'an, Injil, Tripitaka, dsb.) termasuk ayat-ayat kitab suci yang terdapat dalam kitab-kitab suci tersebut serta simbol-simbol lainnya.
Pengiklan harus sangat berhati-hati bila menggunakan simbol-simbol keagamaan tersebut dalam suatu iklan komersial (bukan iklan layanan masyarakat). Disarankan agar, bila memang sangat dibutuhkan menampilkan simbol-simbol keagamaan tersebut, melakukan konsultasi dengan para pemuka agama terkait terlebih dahulu agar sesuai dengan persepsi umum yang ada pada umat agama tersebut dan tidak terkesan mengunggulkan suatu agama tertentu (atau memberikan persepsi buruk bagi agama lainnya).
Terkait dengan agama ini, dalam kitab EPI juga ada panduan-panduan lainnya; sebagai berikut:
2.11. Jasa Penyembuhan Alternatif
2.11.2. Iklan penyembuhan alternatif tidak boleh menyalahgunakan simbol, ayat, atau ritual keagamaan sebagai prasyarat penyembuhannya.
2.19. Lembaga Pendidikan dan Lowongan Kerja
2.19.3. Iklan lowongan kerja tidak boleh memberi indikasi adanya diskriminasi atas suku, jenis kelamin, agama, atau ras tertentu, kecuali jika secara khusus menyertakan alasan dibutuhkannya suku, jenis kelamin, agama, atau ras tertentu tersebut.
2.23. Iklan Pamong, Politik, dan Elektoral
2.23.9. Khusus iklan elektoral berlaku pula ketentuan berikut:
c. Tidak boleh menggunakan tokoh agama atau kutipan ayat-ayat kitab suci dari agama mana pun.
Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!
[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar