1.2 Bahasa1.2.3 Penggunaan kata-kata tertentu harus memenuhi ketentuan berikut:
- d. Kata-kata ”presiden”, ”raja”, ”ratu”, dan sejenisnya tidak boleh digunakan dalam kaitan atau konotasi yang negatif.
- e. Penggunaan kata ”satu-satunya”, ”hanya”, ”cuma”, atau yang bemakna sama tidak boleh digunakan, kecuali jika secara khas disertai dengan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan, dalam hal apa produk tersebut menjadi satu-satunya. (lihat penjelasan)
- f. Kata “gratis”, “cuma-cuma”, atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, jika ternyata ada biaya lain yang harus dibayar konsumen. (lihat penjelasan)
Maksud dari butir 1.2.3.d. dapat mudah dipahami dengan beberapa contoh berikut: penggunaaan kata-kata seperti "raja copet", "ratu ekstasi", "presiden koruptor", dan sejenisnya tidaklah pantas digunakan dalam suatu iklan (walaupun tujuannya untuk menjelaskan suatu hal yang negatif sekalipun).
Terkait dengan butir 1.2.3.e., beberapa contoh yang pernah penulis temukan; antara lain:
1. Hanya Zinc ahlinya masalah ketombe
2. Appeton: Satu-satunya produk yang terbukti klinis menambah berat secara sehat
3. Yamaha: Cuma kita yang semakin di depan
4. Tissue yang bisa diandalkan cuma Passeo
5. Cuma Avanza yang bisa
6. Kecap Sedaaap: Satu-satunya rahasia masakan sedap
7. Cuma BuKrim yang bisa begini
8. ..... tapi kalo batuk cuma Woods spesialisnya
9. Terbukti cuma XL yang gak bikin kecewa
Dalam bagian penjelasan untuk butir ini, tercantum: "Kata-kata “satu satunya”, “hanya” atau yang bermakna sama harus bisa dijelaskan dan dibuktikan secara lisan dan tertulis. Penjelasan tersebut harus bisa diakses secara mudah oleh khalayak. Klaim diatas juga harus jelas dalam kategori tertentu, serta konteks ruang dan waktu tertentu."
Jadi, penggunaan kata-kata tersebut diperbolehkan selama didukung oleh fakta-fakta/bukti-bukti pendukung yang dengan jelas disampaikan (secara tertulis atau lisan) di dalam iklan tersebut. Kata-kata tersebut tidak boleh digunakan untuk memberikan kesan kehebatan atas suatu produk tapi sebenarnya tidak memiliki bukti-bukti pendukung obyektif atas kebenaran pernyataan tersebut. Seperti penulis sering ungkapkan, suatu iklan bukanlah bertujuan membuat suatu produk (maaf) "tahi kambing" dipersepsikan oleh konsumen menjadi "coklat Swiss".
Terkait dengan butir 1.2.3.f., penulis menilai bahwa tidaklah mudah untuk "menangkap" ketidaketisan suatu iklan yang menggunakan kata "gratis", "cuma-cuma" atau kata lain yang bermakna sama dari sekedar melihat iklannya saja. Konsumenlah yang harus jeli bila mendapatkan penawaran/promosi "gratis" seperti ini. Tanyakan dengan terinci, apakah ada "biaya-biaya" lain (bisa bersifat finansial, bisa juga tidak) yang harus ia tanggung; misalnya: harus menambah biaya (contoh: ongkos kirim) atau usaha tertentu (contoh: mengambil produk hadiah gratis tersebut sendiri).
Sekitar tahun 2013-2014, sangat gencar promosi "ketik REG XXXX, dapatkan gratis X". Yang paling populer adalah mendapatkan nada dering (ring-tone) gratis. Bila seseorang mendaftar, maka otomatis si pendaftar akan mendapatkan SMS (misalnya 2 kali dalam sehari) di mana atas penerimaan SMS tersebut si pendaftar akan dikenakan biaya tertentu yang cukup tinggi nilainya (misalnya Rp 2.000,- per SMS sehingga dalam sebulan bisa si pendaftar harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 120.000,-!). SMS itu umumnya berisi informasi tentang artis (kegiatan dia, biografi dan sebagainya).
Cara berpromosi seperti ini sangatlah tidak etis. Konsumen ditawari nada-dering gratis tapi lalu dikenakan biaya atas SMS yang isi pesannya kemungkinan besar tidak dibutuhkannya. Ini seperti promosi: dapatkan handphone gratis, tapi bayar sarungnya! Sangat tidak masuk di akal bahwa produk utamanya (nada-dering) digratiskan, produk tambahannya (SMS) malah dikenakan biaya.
Pesan penulis bagi praktisi periklanan yang ingin menggunakan kata-kata seperti ini: janganlah sekedar menawarkan sesuatu secara "gratis" tapi pada akhirnya membuat konsumen kecewa karena ternyata ada "biaya-biaya tersembunyi" dibaliknya. Bila ada persyaratan untuk mendapatkan produk "gratis" tersebut, sebutkanlah dengan jelas pada iklan tersebut. Adalah suatu yang tindakan mubazir bila membuat iklan yang akhirnya malah membuat konsumen kecewa terhadap produk tersebut.
Tidaklah etis pula bila suatu produk memberikan hadiah gratis tapi dengan cara menaikan harga produknya terlebih dahulu.
Sebagai penutup dari bahasan mengenai Bahasa dalam iklan, penulis ingin mengingatkan bahwa cukup banyak penggunaan kata-kata bersifat superlatif, "hanya", "cuma", "100%", "raja/ratu" dan sejenisnya yang dengan sangat mudah dipersepsikan oleh konsumen di Indonesia sebagai suatu yang bersifat sombong. Padahal, budaya Indonesia sangat tidak menghargai nilai kesombongan. Berhati-hatilah dengan penggunaan kata-kata dalam iklan, karena kata-kata itu dapat mempunyai pemahaman yang berbeda-beda di dalam benak konsumen.
Terinspirasi dari buku "Komunikasi Cinta" karangan Djito Kasilo, komunikasi iklan adalah komunikasi cinta; cinta terhadap produk, cinta terhadap konsumen, termasuk cinta kepada pesaing!
Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!
> Bagian 1
> Bagian 2
[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]
Terkait dengan butir 1.2.3.e., beberapa contoh yang pernah penulis temukan; antara lain:
1. Hanya Zinc ahlinya masalah ketombe
2. Appeton: Satu-satunya produk yang terbukti klinis menambah berat secara sehat
3. Yamaha: Cuma kita yang semakin di depan
4. Tissue yang bisa diandalkan cuma Passeo
5. Cuma Avanza yang bisa
6. Kecap Sedaaap: Satu-satunya rahasia masakan sedap
7. Cuma BuKrim yang bisa begini
8. ..... tapi kalo batuk cuma Woods spesialisnya
9. Terbukti cuma XL yang gak bikin kecewa
Dalam bagian penjelasan untuk butir ini, tercantum: "Kata-kata “satu satunya”, “hanya” atau yang bermakna sama harus bisa dijelaskan dan dibuktikan secara lisan dan tertulis. Penjelasan tersebut harus bisa diakses secara mudah oleh khalayak. Klaim diatas juga harus jelas dalam kategori tertentu, serta konteks ruang dan waktu tertentu."
Jadi, penggunaan kata-kata tersebut diperbolehkan selama didukung oleh fakta-fakta/bukti-bukti pendukung yang dengan jelas disampaikan (secara tertulis atau lisan) di dalam iklan tersebut. Kata-kata tersebut tidak boleh digunakan untuk memberikan kesan kehebatan atas suatu produk tapi sebenarnya tidak memiliki bukti-bukti pendukung obyektif atas kebenaran pernyataan tersebut. Seperti penulis sering ungkapkan, suatu iklan bukanlah bertujuan membuat suatu produk (maaf) "tahi kambing" dipersepsikan oleh konsumen menjadi "coklat Swiss".
Terkait dengan butir 1.2.3.f., penulis menilai bahwa tidaklah mudah untuk "menangkap" ketidaketisan suatu iklan yang menggunakan kata "gratis", "cuma-cuma" atau kata lain yang bermakna sama dari sekedar melihat iklannya saja. Konsumenlah yang harus jeli bila mendapatkan penawaran/promosi "gratis" seperti ini. Tanyakan dengan terinci, apakah ada "biaya-biaya" lain (bisa bersifat finansial, bisa juga tidak) yang harus ia tanggung; misalnya: harus menambah biaya (contoh: ongkos kirim) atau usaha tertentu (contoh: mengambil produk hadiah gratis tersebut sendiri).
Sekitar tahun 2013-2014, sangat gencar promosi "ketik REG XXXX, dapatkan gratis X". Yang paling populer adalah mendapatkan nada dering (ring-tone) gratis. Bila seseorang mendaftar, maka otomatis si pendaftar akan mendapatkan SMS (misalnya 2 kali dalam sehari) di mana atas penerimaan SMS tersebut si pendaftar akan dikenakan biaya tertentu yang cukup tinggi nilainya (misalnya Rp 2.000,- per SMS sehingga dalam sebulan bisa si pendaftar harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 120.000,-!). SMS itu umumnya berisi informasi tentang artis (kegiatan dia, biografi dan sebagainya).
Cara berpromosi seperti ini sangatlah tidak etis. Konsumen ditawari nada-dering gratis tapi lalu dikenakan biaya atas SMS yang isi pesannya kemungkinan besar tidak dibutuhkannya. Ini seperti promosi: dapatkan handphone gratis, tapi bayar sarungnya! Sangat tidak masuk di akal bahwa produk utamanya (nada-dering) digratiskan, produk tambahannya (SMS) malah dikenakan biaya.
Pesan penulis bagi praktisi periklanan yang ingin menggunakan kata-kata seperti ini: janganlah sekedar menawarkan sesuatu secara "gratis" tapi pada akhirnya membuat konsumen kecewa karena ternyata ada "biaya-biaya tersembunyi" dibaliknya. Bila ada persyaratan untuk mendapatkan produk "gratis" tersebut, sebutkanlah dengan jelas pada iklan tersebut. Adalah suatu yang tindakan mubazir bila membuat iklan yang akhirnya malah membuat konsumen kecewa terhadap produk tersebut.
Tidaklah etis pula bila suatu produk memberikan hadiah gratis tapi dengan cara menaikan harga produknya terlebih dahulu.
Sebagai penutup dari bahasan mengenai Bahasa dalam iklan, penulis ingin mengingatkan bahwa cukup banyak penggunaan kata-kata bersifat superlatif, "hanya", "cuma", "100%", "raja/ratu" dan sejenisnya yang dengan sangat mudah dipersepsikan oleh konsumen di Indonesia sebagai suatu yang bersifat sombong. Padahal, budaya Indonesia sangat tidak menghargai nilai kesombongan. Berhati-hatilah dengan penggunaan kata-kata dalam iklan, karena kata-kata itu dapat mempunyai pemahaman yang berbeda-beda di dalam benak konsumen.
Terinspirasi dari buku "Komunikasi Cinta" karangan Djito Kasilo, komunikasi iklan adalah komunikasi cinta; cinta terhadap produk, cinta terhadap konsumen, termasuk cinta kepada pesaing!
Salam Pariwara Indonesia ber-Etika!
> Bagian 1
> Bagian 2
[Tulisan ini merupakan pendapat PRIBADI penulis dan tidak mewakili badan ataupun organisasi manapun juga]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar